7/8/20

Online learning due to Covid19? Just take it positively



July has come, means new academic year nearly starts.

I am always excited welcoming new academic year. I can’t wait to see new faces, new energy and new ambience but not for the new normal.

Online learning is tiring, demanding and challenging. Teaching experience during last term 4 was really ‘remarkable’. I can’t imagine kind of roller coasters will be for 1 semester ahead due to online learning situation.

Previously, extended online learning made me unmotivated till I finally found this letter last night. It’s sent by a student who has health issue that makes him cannot regularly come to school.



Term 1 and 2, he rarely joined the class but he sufficiently could manage himself to catch up the lesson.

Term 3, he hardly never joined my class except day 1 when I asked all my students to write this kind of letter. He entirely missed the lesson this term.

Term 4, when the online learning starts, he regularly joined our online discussion and completed all the assignments properly. This online learning helped him to join the class without literally going to school, to get involve during his recovery period.

It brings me to a deep reflection, to positively enjoy online learning as the best practice for current situation. Regardless all the challenges and difficulties, now I feel bad to not excitedly start this new academic year once I know online learning will help my student who strive for his health condition.

Hopefully, by the time we physically get back to school, his recovery is completely done so he is ready to join us :)

5/21/16

Kembang Tangguh Tak Pernah Layu

Kembang 6 Rupa. Itulah judul film dokumenter yang aku tonton belum lama ini. Film produksi kampung halaman (organisasi nirlaba yang berkonsentrasi pada pemberdayaan remaja melalui pendidikan popular) ini bercerita tentang kisah 6 orang remaja perempuan tangguh yang mengalami dilema dan manuver pelemahan dari berbagai aspek seperti pendidikan, kesenjangan gender, ekonomi, sampai dengan diskriminasi. Mereka dipandang sebelah mata, dianggap lemah tanpa potensi, terjebak kesulitan ekonomi, diarahkan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan, serta tak diperhitungkan keberadaannya. Namun mereka tak pernah layu, mereka terus maju.

Yang ingin aku ceritakan kali ini bukan kisah kembang 6 rupa (yang bisa atau mungkin sudah anda saksikan sendiri) melainkan kembang lain yang tidak ada dalam film. Keenam kembang dalam film tersebut mengingatkanku pada kembang lain, sebut saja Zahra, yang aku temui kurang lebih setahun lalu. Saat itu aku masih mengajar di salah satu sekolah swasta Nasional Plus kerjasama dua yayasan, yayasan Indonesia dan Turki. Terkait masalah kebersihan, sekolah yang terbilang elite itu mempercayakannya pada salah satu perusahan jasa. Zahra adalah salah satu pekerja yang dikirim perusahaan ke sekolah kami.

Zahra. Pertama kali aku melihatnya di toilet. Dia sedang membersihkan wastafel saat itu. Perawakannya memang tinggi besar, namun dari wajahnya aku tahu dia masih sangat belia, sebelia siswi-siswiku di kelas. Aku memulai percakapan dengan bertanya siapa namanya. Percakapan berlanjut sampai aku tahu bahwa ternyata dia seorang yatim yang tinggal di sebuah panti asuhan. Dia dan beberapa anak di panti bekerja sebagai cleaning service di perusahaan yang sama namun mereka tersebar di beberapa tempat yang berbeda. Aku beranikan diri bertanya tentang sekolahnya. Jawabannya membuat aku takjub. Dia dan anak-anak di panti tidak bersekolah secara formal tapi bukan berarti mereka tidak belajar. Setiap minggunya ada guru sukarela yang datang untuk mengajar mereka, mempersiapkan mereka untuk mengikuti ujian kesetaraan paket C. Ya, mereka mengikuti ujian kesetaraan paket C, karena itu lah mereka bekerja sebagai cleaning service. Selain membantu memenuhi kebutuhan panti dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, penghasilan yang mereka terima juga digunakan untuk membayar biaya ujian kesetaraan tersebut.

Aku tertegun mendengar kisahnya. Zahra, kembang lugu yang masih belia itu, harus berdiri tegap tanpa kehadiran orang tua di sampingnya. Zahra, kembang tangguh itu harus bekerja demi pendidikannya. Zahra, kembang yang tak pernah layu itu selalu menorehkan senyum di wajahnya setiap kali bertemu, tak pernah ia tunjukkan kesedihan sedikit pun. Padahal aku tahu hidup yang dia jalani tidak mudah.

Kisah Zahra seperti tamparan bagiku untuk selalu bersyukur. Kadang aku lupa, merasa hidupku adalah yang tersulit di dunia, yang tersempit di muka bumi ini. Padahal aku masih memiliki orang tua lengkap yang bekerja banting tulang membiayai sekolahku. Aku berhasil lulus kuliah melalui program student financing sehingga tidak perlu membebani orang tuaku mengenai biaya kuliah. Masih pantaskah aku bersungut-sungut menyesali kerasnya hidup sementara Zahra begitu ikhlas menjalani semua? Masih pantaskah aku merasa kurang, membandingkan rejekiku dengan orang lain sementara Zahra begitu mensyukuri segala yang dia terima? Masih pantaskah menyesali program student financing yang membantuku kuliah hingga memudahkan aku memperoleh pekerjaan yang baik, berada di posisi sekarang ini?

Zahra, terima kasih atas pelajaran yang kau berikan. Sayang kita tak bisa saling mengenal lebih jauh. Ya, Zahra dipindah tugaskan setelah beberapa minggu bekerja di sekolah tempat aku mengajar. Sempat aku menawarkannya belajar Matematika denganku untuk persiapan ujian kesetaraannya, belum sempat terwujud dia sudah pindah. Semangat Zahra, semoga sukses selalu menyertai langkahmu. Teruslah menjadi kembang tangguh yang tak pernah layu.

11/27/14

Hari Guru si Guru Baru

Selasa, 25 November 2014. Pagi itu saat terbangun, aku belum sadar akan spesialnya hari tersebut. Sampai akhirnya kalimat-kalimat di recent update bbm dan gambar-gambar yang bermunculan di sosial media mengingatkanku bahwa hari itu adalah "hari guru" pertamaku. Ya, itu memang hari guru pertamaku sebagai seorang guru. Aku belum lama menyandang predikat guru di salah satu SMA swasta, usia pengabdianku baru hitungan bulan sejak Agusutus 2014 lalu.

Ku mulai hari itu seperti biasa, namun apa yang terjadi memang tidak biasa. Sesampainya di sekolah tepatnya di ruang guru, di meja sudah tergeletak dengan manis sebuah kartu ucapan "Happy Teachers Day" yang berfungsi juga sebagai kartu undangan untuk hadir di acara perayaan hari guru sekolah pada siang harinya. Tidak lama waktu berselang, datang salah seorang siswa ku dengan salad buah di tangannya. Itu memang salad buah biasa, namun karena dibuat sendiri oleh siswa dan diberikan di hari itu maka saladnya menjadi luar biasa ;)

Waktu menunjukkan pukul 13.00, auditorium sekolah sudah ramai dengan siswa. Para guru pun hadir dan menempati kursi barisan depan yang khusus disiapkan untuk guru. Acara perayaan hari guru tersebut dikemas dengan cantik, berbagai perlombaan, nyanyian untuk guru, musikalisasi puisi untuk guru, dan acara lainnya sukses membuat semua guru tertawa, tersenyum bahkan terharu. Sampai akhirnya diumumkan nama-nama guru pemenang kategori ter.... berdasarkan hasil voting seisi sekolah, sepertinya aku satu-satunya guru yang terheran-heran. Aku terpilih sebagai guru terfavorit. Sontak aku berpikir apakah MC salah menyebutkan nama, ataukah panitia salah menghitung hasil voting. Tiba-tiba sorak sorai siswa menyadarkanku bahwa aku harus maju ke pentas menerima ucapan selamat dan cindera mata. Antara percaya dan tidak, perasaanku melambung. Aku ucapkan terima kasih pada siswa yang telah memilihku sebagai guru terfavorit, predikat itu, bunga-bunga indah yang diberikan, kartu-kartu ucapan yang manis dan hadiah-hadiah lainnya sungguh membahagiakan.

Perasaan yang melambung pun perlahan turun, terlebih saat siswa menyanyikan hymne guru dengan merdu. Lirik yang menyentuh membawaku ke masa-masa sekolah ku dulu. Dulu, sewaktu bersekolah, tidak pernah ku ingat ada perayaan hari guru di sekolah ku, tidak pernah ku ingat aku merayakan hari guru, jangankan memberikan hadiah atau setangkai
bunga, bahkan memberikan ucapan "selamat hari guru" pun aku tak pernah ingat. Mataku pun berair, namun kelopak mataku segera menutup untuk membendungnya agar tidak jatuh. Aku mengharu biru bukan karena apa yang aku peroleh dari siswa ku saat ini, tapi karena aku ingat tidak satu hal pun yang pernah lakukan untuk guru-guruku bahkan di hari guru sekalipun. Aku terlalu sombong, tak pernah aku apresisasi pengorbanan dan jasa mereka yang telah membuatku seperti hari ini.

Tepuk tangan yang meriah diakhir nyanyian hymne guru mengembalikan ku ke masa ini, masa sekarang, masa di mana siswa begitu ekspresif mengapresiakan penghormatan dan terima kasih nya. Ah tapi aku merasa semua itu belum nyata, penghargaan guru ter... itu, bunga-bunga itu, kartu-kartu ucapan itu, hadiah-hadiah itu, belum menjadi hal yang nyata untuk saat ini, saat mereka masih berseragam dan terbawa euforia hari guru di sekolah. Semua itu akan benar-benar nyata bagiku apabila 5 atau 10 atau bahkan 20 tahun mendatang mereka masih mengingatku, mendatangiku walau tanpa bunga dan kartu ucapan. Pemikiranku ini bukan berarti tidak menghargai apresiasi yang mereka berikan padaku, ini semata-mata refleksi seorang guru (aku) yang tidak tahu terima kasih pada guru nya :(

Saat menulis ini, aku berniat untuk mendatangi guru-guruku yang telah berjasa luar biasa untukku mulai dari tingkat SD sampai SMA. Semoga aku bisa memenuhi janji pada diriku sendiri. Semoga Allah panjangkan umurku dan guru-guruku agar sempat bagiku untuk mengucapkan TERIMA KASIH GURU, SELAMAT HARI GURU. 

1/4/13

Kekuatan Berbicara tanpa Suara

Tak pernah aku rencanakan sebelumnya untuk bergabung dalam suatu komunitas pemerhati disabilitas. Disabilitas merupakan keadaan seseorang yang berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Hingga saat ini masih banyak orang yang tega menyebut para penyandang disabilitas sebagai orang cacat. Kasar memang panggilan tersebut. Justru karena itulah aku tergabung dalam IDCC (Indonesia Disabled Care Community) yang salah satu misinya adalah menghilangkan panggilan cacat dan menggantinya dengan panggilan yang lebih bersahabat yaitu pendis (penyandang disabilitas).
Kali ini aku tidak akan bercerita banyak tentang IDCC, tapi aku akan sedikit mengulas dampak yang aku peroleh dengan bergabung dalam IDCC. Aku jatuh hati pada  tunarunngu dengan bahasa isyarat mereka. Sebelum berpikir yang bukan-bukan, tolong lanjutkan dulu tulisan ini. Akan dijelaskan lebih lanjut maksud jatuh hati disini.

Pendidikan berbasis Kedaerahan


Indonesia adalah negeri yang kaya. Tingkat kekayaan tersebut sejatinya setara dengan peluang usaha yang bisa dikembangkan. Namun sayang hal itu belum terealisasi hingga saat ini. Ketimpangan antara sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta minimnya pengetahuan tentang potensi daerah membuat masyarakat Indonesia dijajah dengan dominasi wirausaha asing. Apa yang harus diperbaiki agar keadaan tersebut tidak terus berlanjut? Jawabannya tentu pendidikan. Perlu diterapkan sistem pendidikan yang menekankan pengenalan siswa dengan daerah dimana dia tinggal mulai dari potensi sampai dengan keterbatasan yang dimiliki.