5/21/16

Kembang Tangguh Tak Pernah Layu

Kembang 6 Rupa. Itulah judul film dokumenter yang aku tonton belum lama ini. Film produksi kampung halaman (organisasi nirlaba yang berkonsentrasi pada pemberdayaan remaja melalui pendidikan popular) ini bercerita tentang kisah 6 orang remaja perempuan tangguh yang mengalami dilema dan manuver pelemahan dari berbagai aspek seperti pendidikan, kesenjangan gender, ekonomi, sampai dengan diskriminasi. Mereka dipandang sebelah mata, dianggap lemah tanpa potensi, terjebak kesulitan ekonomi, diarahkan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan, serta tak diperhitungkan keberadaannya. Namun mereka tak pernah layu, mereka terus maju.

Yang ingin aku ceritakan kali ini bukan kisah kembang 6 rupa (yang bisa atau mungkin sudah anda saksikan sendiri) melainkan kembang lain yang tidak ada dalam film. Keenam kembang dalam film tersebut mengingatkanku pada kembang lain, sebut saja Zahra, yang aku temui kurang lebih setahun lalu. Saat itu aku masih mengajar di salah satu sekolah swasta Nasional Plus kerjasama dua yayasan, yayasan Indonesia dan Turki. Terkait masalah kebersihan, sekolah yang terbilang elite itu mempercayakannya pada salah satu perusahan jasa. Zahra adalah salah satu pekerja yang dikirim perusahaan ke sekolah kami.

Zahra. Pertama kali aku melihatnya di toilet. Dia sedang membersihkan wastafel saat itu. Perawakannya memang tinggi besar, namun dari wajahnya aku tahu dia masih sangat belia, sebelia siswi-siswiku di kelas. Aku memulai percakapan dengan bertanya siapa namanya. Percakapan berlanjut sampai aku tahu bahwa ternyata dia seorang yatim yang tinggal di sebuah panti asuhan. Dia dan beberapa anak di panti bekerja sebagai cleaning service di perusahaan yang sama namun mereka tersebar di beberapa tempat yang berbeda. Aku beranikan diri bertanya tentang sekolahnya. Jawabannya membuat aku takjub. Dia dan anak-anak di panti tidak bersekolah secara formal tapi bukan berarti mereka tidak belajar. Setiap minggunya ada guru sukarela yang datang untuk mengajar mereka, mempersiapkan mereka untuk mengikuti ujian kesetaraan paket C. Ya, mereka mengikuti ujian kesetaraan paket C, karena itu lah mereka bekerja sebagai cleaning service. Selain membantu memenuhi kebutuhan panti dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, penghasilan yang mereka terima juga digunakan untuk membayar biaya ujian kesetaraan tersebut.

Aku tertegun mendengar kisahnya. Zahra, kembang lugu yang masih belia itu, harus berdiri tegap tanpa kehadiran orang tua di sampingnya. Zahra, kembang tangguh itu harus bekerja demi pendidikannya. Zahra, kembang yang tak pernah layu itu selalu menorehkan senyum di wajahnya setiap kali bertemu, tak pernah ia tunjukkan kesedihan sedikit pun. Padahal aku tahu hidup yang dia jalani tidak mudah.

Kisah Zahra seperti tamparan bagiku untuk selalu bersyukur. Kadang aku lupa, merasa hidupku adalah yang tersulit di dunia, yang tersempit di muka bumi ini. Padahal aku masih memiliki orang tua lengkap yang bekerja banting tulang membiayai sekolahku. Aku berhasil lulus kuliah melalui program student financing sehingga tidak perlu membebani orang tuaku mengenai biaya kuliah. Masih pantaskah aku bersungut-sungut menyesali kerasnya hidup sementara Zahra begitu ikhlas menjalani semua? Masih pantaskah aku merasa kurang, membandingkan rejekiku dengan orang lain sementara Zahra begitu mensyukuri segala yang dia terima? Masih pantaskah menyesali program student financing yang membantuku kuliah hingga memudahkan aku memperoleh pekerjaan yang baik, berada di posisi sekarang ini?

Zahra, terima kasih atas pelajaran yang kau berikan. Sayang kita tak bisa saling mengenal lebih jauh. Ya, Zahra dipindah tugaskan setelah beberapa minggu bekerja di sekolah tempat aku mengajar. Sempat aku menawarkannya belajar Matematika denganku untuk persiapan ujian kesetaraannya, belum sempat terwujud dia sudah pindah. Semangat Zahra, semoga sukses selalu menyertai langkahmu. Teruslah menjadi kembang tangguh yang tak pernah layu.

No comments:

Post a Comment