10/5/11

Nama bukanlah semuanya tentang kita, tapi kita semuanya butuh Nama

Nama. Apalah artinya nama. Seberapa pentingkah nama. Adakah pengaruh dari suatu nama terhadap pemiliknya. Mengapa banyak orang tua yang begitu selektif memberi nama pada anak mereka. Apakah sesungguhnya yang mereka cari. Nilai estetis dari suatu nama, atau makna yang terpendam dalam nama tersebut. Tak dapat dipungkiri bahwa nama menjadi bagian yang sangat penting dalam hidup kita. Melalui nama kita bisa saling mengenal dan membedakan satu sama lain. Semuanya butuh nama. Tak bisa dibayangkan apa yang terjadi jika semua orang di dunia tak bernama.

Banyak orang bilang bahwa nama adalah suatu doa. Dalam hal ini saya tidak dapat berkata apa-apa selain mengamini. Tapi apakah benar bahwa nama memiliki kekuatan dalam mempengaruhi karakter bahkan nasib pemiliknya. Lalu bagaimana dengan orang tua yang memberi nama hanya mementingkan nilai estetis tanpa makna didalamnya seperti nama yang diberikan orang tua saya kepada anak sulung mereka, yaitu saya. Sempat saya ingin mengganti nama menjadi Aisyah, Fatimah, Nurilahi, dan nama-nama lain yang bermakna positif serta menunjukkan keislaman saya. Namun keinginan itu pun sirna setelah saya menemukan persepsi yang nyaman mengenai nama.

Menurut saya bukanlah nama yang menjadikan karakter seseorang menjadi baik atau buruk, melainkan karakter itu sendiri yang nantinya akan menjadikan nama yang disandang menjadi indah atau sebaliknya. Nama Muhammad tak kan begitu terkenal dan disenangi jika Rasulullah tak memiliki karakter yang begitu indahnya. Nama Firaun pun bisa saja sangat digemari apabila karakternya bukanlah seorang kafir. Begitulah persepsi nyaman tenang nama yang saya pupuk untuk membuat saya bersyukur atas nama tak berarti khusus yang diberikan orangtua saya.

Devi Heryanti. Ya, itulah nama saya. Nama depan saya, Devi, pasti sudah sangat familiar ditelinga anda. Tapi saya yakin akan selalu ada alasan yang berbeda di balik nama Devi. Menurut cerita orang tua saya, nama Devi mereka temui di salah satu Koran ibu kota. Mereka memilih nama Devi dengan harapan nama Devi akan menjadi nama yang unik dan jarang digunakan orang. Namun apalah daya, justru nama Devi begitu banyak digunakan orang. Sedangkan Heryanti adalah gabungan dari nama kedua orang tua saya, Hermawan dan Yayah. Tapi saya tetap berusaha mengambil pesan positif dibalik cerita itu. Orang tua saya menginginkan saya menjadi seseorang yang luar biasa, berpikir dan bersikap positif yang berbeda dengan orang kebanyakan serta menjadi anak yang akan selalu ingat pada orang tuanya.

Saya merasa tidak bijak untuk menilai apakah nama yang disandang seseorang sesuai dengan karakter yang mereka miliki. Menurut saya, apapun nama yang disandang, setiap orang wajib memupuk karakter positif dalam diri terlepas dari karakter negative atau kekurangan yang mereka miliki. Oleh sebab itu, tak ada alasan bagi saya untuk merasa nama ini tak cocok untuk saya. Tak ada alasan bagi Devi Heryanti untuk tidak menjadi wanita sebaik Aisyah dan sekuat Kartini. Persepsi saya tentang mengenai nama seperti yang telah dijabarkan sebelumnya semakin memotivasi saya untuk membentuk diri menjadi pribadi yang sebaik mungkin, seindah mungkin, serta se-luarbiasa-mungkin seperti yang disiratkan kedua orang tua saya. Semoga kelak pribadi dan karakter luarbiasa yang saya miliki semakin mengindahkan nama Devi Heryanti dan membuat orang jutaan orang lainnya bangga bernama Devi.

9/28/11

Bomb at Bethel Church Solo : Victim of Misunderstanding about the Difference




Sunday, 25th September 2011. There was a bomb at Bethel Church Solo. It happened, again and again. Why did it happen? Terrorism? Maybe it sounds classic when Muslim and Christian suspect each other because of the difference that they have. Let’s grow up and open our mind. The real problem is not a difference, but our ignorance about the meaning of the difference itself in our real life. Because of that ignorance, there is very possible for misunderstanding about the difference to be happened. To solve this problem of course we have to understand first about what the real meaning of the difference is. It will not be end before we can respect each other and see the beauty of the difference among us.

As we know Indonesia is a country which full of diversities. Not only religion diversity that shown on paragraph above, there are so many kind of diversitiy such us culture diversitiy, languages diversitiy, tribe diversity, etc.



Those diversities precisely will generate the difference one and another. Actually those differences will create our social interaction among us be more meaningful to learn and complete each other. Unfortunately, most of Indonesian people do not understand well about what the meaning of the difference is and how to see the beauty of the difference in doing social interaction in our real life. So, what can we do to make a change about this condition? For making Indonesian people aware about the difference? The answer is Humanistic Studies.

Humanistic Studies is a course that learns about multiculturalism and religion at human life involved interaction on it. Learn about multiculturalism and religion is impossible if we will not talk about the difference. It sounds horrible at the first time because the difference is sensitive thing. There is a worry that it will create more conflict about the difference that we have. Actually it will be more horrible if we never talk about that difference because the misunderstanding will always be happened if we never share about the difference and clear the misunderstanding on it as soon as possible (Gazali, 2011).

Hopefully, through this course we will understand about the attendance of the difference in human life. It will open our mind to see the beauty of the difference among us in doing social interaction. Have a good perception about the difference will make us be more respectful about the difference that we have. As a candidate of teacher, we will have students from various family background, tribe, and religion. So, we are not only expected to be respectful about the difference, but also be able to persuade the students to be respectful about the difference that they have. I hope, after having good perception about the difference by learning Humanistic Studies we will also have a good explanation, reason, and way to show to our student about the beauty of the difference in order to make them be more respectful in doing interaction one another with all of differences that they have.

9/26/11

Kekuatan Pendidikan

Apa itu kekuatan pendidikan? Seberapa besarkah kekuatannya? Sungguh, setahun yang lalu saya tak pernah peduli akan hal ini. Saat saya bingung memilih jurusan apa yang harus saya pilih untuk melanjutkan kuliah, bidang pendidikan tak pernah saya lirik. Hingga akhirnya tangan tuhan sendirilah yang memilihkan pendidikan untuk saya, yaitu menjadi guru.

Hari-hari pertama menjalani kuliah di Sampoerna School of Education saya merasa aneh, namun seiring berjalannya waktu berkuliah disana, akhirnya saya menemukan hebatnya kekuatan pendidikan. Salah satu dosen dengan ringan berkata “jika kamu masih meragukan kekuatan pendidikan, lihatlah dirimu sekarang !”

Ya, pendidikan memiliki kekuatan yang luar biasa melakukan perubahan dalam diri saya. Menjadikan saya pribadi yang lebih baik, pribadi yang selalu siap dengan perubahan zaman dan segala tantangan serta selalu berpikir ke depan. Pendidikan tidak hanya membuat saya dihargai tapi juga pandai menghargai orang lain. Pendidikan memperbesar kesempatan bagi saya untuk menjadi seseorang yang berpengalaman, memperlebar jalan saya untuk mencoba hal-hal baru, dan membuka wawasan akan segala pengetahuan. Pendidikan pula yang salama ini menginspirasi saya untuk selalu maju, mencari solusi-solusi positiif guna memecahkan segala permasalahan di masyarakat yang dilatarbelakang pendidikan dan kemiskinan. Bukan kemiskinan secara financial melainkan kemiskinan mental yang membudaya di Indonesia, dan hanya kekuatan pendidikanlah yang dapat mengobatinya.

Segala perubahan dalam diri saya itulah yang memantapkan hati saya menjadi seorang guru. Melalui pengajaran yang inovatif dan inspiratif, saya ingin semua para generasi penerus bangsa turut merasakan perubahan yang saya alami, karena perubahan itulah yang dibutuhkan untuk mecapai Indonesia yang lebih baik. Saya tidak ingin menjadi guru yang hanya mengajar, tetapi juga menjadi pembelajar yang baik. Karena sesungguhnya hidup memanglah sebuah proses pembelajaran yang tak pernah usai.

Semoga saya bisa menjadi guru yang senatiasa menginspirasi murid-murid saya untuk melakukan perubahan yang akan terus menggulirkan roda Indonesia maju kearah yang lebih baik.

Tutup mata dan tanyakan pada sanubari anda, apa yang pendidikan telah berikan untuk anda?

IT’S TIME TO CHANGE

Devi Heryanti (^^,)

6/20/11

Revolusi Pendidikan hingga Pelosok Negeri


Pasal 31 UUD 1945 mengungkapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Menggagas hal tersebut, bukankah dalam pembukaan UUD 1945 terdapat cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Tetapi faktanya, belum semua warga negara Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak. Terbukti dari banyaknya anak-anak di beberapa daerah terpencil yang belum bisa menikmati pendidikan dengan berbagai alasan. Padahal pendidikan adalah salah satu faktor penting dalam membentuk sebuah bangsa yang besar dan berkualitas (Galih Permana, 2010).
Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia, sama halnya dengan membicarakan banyak hal yang perlu direvolusi di dalamnya. Mulai dari kurikulum yang bersifat fundamental, hingga sarana dan prasarana yang menunjang proses belajar di kelas. Kata revolusi dalam dunia pendidikan tentu sudah tidak asing lagi. Revolusi pendidikan sudah sepatutnya dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Pada dasarnya selama ini revolusi bukannya belum dilaksanakan, hanya saja tidak terlihat karena hanya sibuk dilakukan di kota-kota besar. Di Jakarta misalnya, pemerintah telah memberlakukan wajib belajar  9 tahun tanpa biaya sebagai perwujudan amanat pembukaan UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Muhammad Ilyas, 2010). Lalu bagaimana dengan pendidikan mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil? Bukankah  Indonesia  memiliki banyak provinsi yang memang seharusnya merasakan pendidikan yang sama?
Pola pikir masyarakat mengenai pendidikan juga sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan di Indonesia. Seperti diketahui bersama bahwa daerah-daerah di Indonesia mata pencarian utama masyarakatnya adalah di bidang agraris. Dimana penghasilannya belum tentu cukup untuk mengirim anak-anak ke sekolah, karena pada dasarnya ekonomi, geografi dan budaya mempengaruhi pola pikir masyarakat mengenai pendidikan (BaharudinManik, 2006).
Semakin terperosoknya pendidikan di pelosok tidak bisa dipisahkan dari minimnya fasilitas dan ketersediaan guru di sana. Kita dapat melihat kenyataan ini melalui berbagai media yang meliputi sekolah-sekolah yang minim fasilitas dan kualitas pengajar yang seadanya. Contohnya seperti yang terjadi di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tiga puluh sekolah dasar di kabupaten tersebut hanya mengandalkan seorang guru tiap sekolahnya. (Miftachudin ,2010). Hal  ini disebabkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan para guru di daerah terpencil. Tidak dapat dipungkiri bahwa minimnya uang insentif yang diberikan membuat para guru enggan mengabdikan dirinya di pelosok negeri. Bagaimana pun guru juga manusia yang harus memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya untuk dapat hidup layak. Bagaimana seorang guru dapat mengajar dengan maksimal jika pikirannya terpecah dua antara mengajar dan mencari penghasilan tambahan dikarenakan gaji guru yang rendah? (AniesBaswedan, 2010).
Pemerintah memang sudah menyiapkan anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan, tetapi apa yang terjadi sekarang? Masih banyak sekolah-sekolah yang belum bisa mengembangkan pendidikan karena alas an dana. Banyak media memberikan bukti-bukti dari permasalahan ini. Di Makassar, beberapa sekolah kesulitan melaporkan pencairan dana BOS karena akses yang kurang memadai. Di Banda Aceh, sebuah sekolah gagal mendapat dana bantuan karena proposal yang diajukannya tertahan. Selain itu, sebuah sekolah di Kalimantan Barat bahkan belum pernah mendapatkan dana bantuan dari pemerintah sejak berdiri beberapa tahun lalu.
Pemaparan di atas adalah sedikit dari sekian banyak masalah yang harus menjadi focus pemerintah dalam menyamaratakan pendidikan di Indonesia. Tentu saja kita tidak ingin hal ini terus terjadi, berakar menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Yang diperlukan sekarang adalah revolusi untuk mengubah semua ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi berarti perubahan mendasar dalam suatu bidang. Berbicara mengenai revolusi pendidikan, artinya kita akan focus pada perubahan mendasar dan menyeluruh dari keadaan yang ada saat ini. Perubahan mendasar yang bisa dilakukan adalah dengan memberi solusi secara menyeluruh dari permasalahan-permasalahan yang dijabarkan diatas.
Sekolah-sekolah di daerah terpencil harusnya mendapat dana bantuan yang pantas untuk mengembangkan pendidikannya. Dana pendidikan yang sudah disiapkan seharusnya bisa dibagikan secara adil ke daerah-daerah. Akses bagi sekolah-sekolah di daerah pun seharusnya dipermudah, agar dana yang sudah disiapkan bisa sampai ketangan-tangan mereka. Hingga pada akhirnya operasional pendidikan pun bisa dilaksanakan dengan efektif.
Dikarenakan pola piker masyarakat daerah — yang telah dijabarkan sebelumya — memengaruhi respon mereka mengenai pendidikan, Pemerintah seharusnya merubah pola pikir yang ada saat ini. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai langkah. Salah satunya dengan melakukan workshop. Tentu saja workshop yang dilakukan hanya satu atau dua kali tidak akan menghasilkan perkembangan yang signifikan. Workshop yang dilakukan seharusnya berkelanjutan dan dikontrol perkembangannya, sehingga masyarakat di daerah merasa memiliki tanggung jawab untuk peduli terhadap pendidikan.
Pendidikan merupakan sector penting yang perlu didahulukan. Untuk mencapai pendidikan yang merata di Indonesia, pemerintah harus siap menyamaratakan fasilitas dan kualitas guru di Indonesia. Hal ini tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mengefekifkan anggaran pendidikan dari APBN adalah hal yang harus dilaksanakan. Pemerintah perlu meningkatkan fasilitas pendidikan di daerah terpencil serta memberikan jaminan kesejahteraan bahkan insentif  yang lebih sebagai bentuk apresiasi bagi para guru yang bersedia mengabdi disana. Dengan begitu, pendidikan di pelosok bisa berkembang dan para guru bisa mengajar dengan maksimal tanpa memikirkan kebutuhan hidup yang selama ini jadi beban pikiran jika mengabdi didaerah terpencil.
            Dari sekian revolusi yang perlu dilakukan, ada satu hal krusial yang perlu direvolusi di balik itu semua,  yaitu pelaksanaan revolusi itu sendiri. Sejauh ini pemerintah lebih focus pada apa yang perlu direvolusi, bukan pada bagaimana revolusi itu dilakukan. Seharusnya pemerintah turut memperhatikan pelaksanaan revolusi itu sendiri agar dapat berlangsung secara menyeluruh hingga kepelosok negeri, sehingga revolusi yang dilaksanakan dapat berjalan efektif. Selain itu, perubahan yang dihasilkan pun terasa signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia karena pada dasarnya perbaikan pendidikan akan lebih efektif apabila dilaksanakan secara merata. Dengan demikian, Pasal 31 UUD 1945 pun tidak sekedar menjadi wacana semata, tetapi benar-benar bisa terealisasi.


Devi Heryanti dan Dasrizal, 2011




DAFTAR PUSTAKA

Rizali, Ahmad, dkk.2009.Dari Guru Konvensionalmenuju Guru Profesional.         Jakarta:Grasindo
Saepudin, Aep.2007.Guruku JanganDipolitisi!.Bandung: National Leadership                   Youth Forum  2007, Masjid Salman ITB
Sumbersitus :
www.dikti.go.id/index.php?option

3/16/11

Sekolah Gerbang Narkoba


            Miris rasanya melihat kenyataan bahwa 70% dari 4 juta pengguna narkoba di Indonesia adalah anak sekolah. Disini saya ingin menegaskan bahwa ini sudah menjadi bukti yang sangat jelas akan kurangnya pengawasan sekolah terhadap peredaran narkoba di lingkungannya. Seharusnya pihak sekolah menjadikan ini sebagai bahan refleksi untuk menentukan langkah yang harus ditempuh guna memperkuat peranannya dalam memerangi peredaran narkoba di sekolah.
Tayangan salah satu stasiun televisi swasta, memberitakan bahwa angka kematian yang disebabkan oleh narkoba sudah mencapai 42 orang setiap harinya. Di Indonesia sendiri menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlah pengguna narkoba di Indonesia sejauh ini sudah mencapai 3,6 juta orang. Angka yang sangat fantastis untuk hal yang sangat dilarang, bukan?. Hal yang membuat saya tertohok sebenarnya adalah ketika diberitakan bahwa sebagian besar dari pengguna narkoba di Indonesia mengenal narkoba mulai sejak bangku sekolah.
Sekolah yang pada hakikatnya merupakan institusi pendidikan, kini justru menjadi pintu gerbang bagi para siswa dalam mengenal narkoba. Berdasarkan Survei Kesehatan 2007 oleh Depkes diketahui 22.000 kasus narkoba dengan status anak SMA, 6000 anak SMP dan 3000 anak SD. Banyaknya kasus narkoba yang terkuak di lingkungan sekolah inilah yang membuat julukan “sekolah gerbang narkoba” semakin santer terdengar di masyarakat luas.
Dari sederet data yang telah disajikan diatas, dapat diketahui bahwa kasus narkoba di sekolah didominasi oleh SMA. Jumlahnya terpaut sangat jauh dari jumlah kasus yang terjadi di SMP maupun SD. Sesungguhnya ini merupakan fakta yang tidak mengherankan, mengingat jiwa remaja yang labil ditengah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Rasa ingin tahu yang tak terkendali mendorong mereka melakukan hal-hal yang menurut mereka ‘baru’ – terlebih hal yang dilarang – sebagai ajang coba-coba yang menantang. Mereka tak  berpikir panjang akan akibat yang muncul setelahnya. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa masa remaja merupakan lahan subur untuk tumbuhnya narkoba (Okie Shcatzie, 2006).
Fenomena ini tentunya menjadi hal yang teramat penting untuk ditindak lanjuti. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ditangan merekalah – para remaja – nasib bangsa kita berada. Merekalah para generasi penerus bangsa, calon pemimpin di masa depan. Jangan biarkan keganasan narkoba membunuh potensi yang mereka miliki. Tak pernah terbayang akan seperti apa jadinya negara kita pada beberapa tahun mendatang di tangan para pemimpin yang telah rusak jiwa dan raganya akibat jeratan narkoba.
Apa yang terjadi dewasa ini begitu kontras dengan slogan pada poster-poster yang terpampang di dinding-dinding sekolah, “Say No to Drugs!”. Fakta-fakta diatas menimbulkan pertanyaan. “Bukankah seharusnya sekolah justru berperan penting dalam memerangi narkoba?”. Pertanyaan ini sekiranya menjadi teguran keras bagi sekolah-sekolah di Indonesia. Kasus-kasus yang telah terjadi sejauh ini sudah sangat kuat untuk menunjukkan peran sekolah yang kurang aktif dalam memerangi narkoba. Sekolah harus segera introspeksi guna menentukkan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menangani masalah ini.
Pada dasarnya sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat pembentukan karakter. Namun sayang, sejauh ini para guru lebih sibuk mengajar terlebih saat menjelang ujian. Mereka  tidak sadar bahwa saat-saat menjelang ujian yang penuh tekanan itulah masa rentan bagi siswa untuk masuk dalam lingkaran narkoba. Para guru cenderung melupakan peranan mereka dalam membentuk karakter siswa. Memberikan pengajaran moral dan tanggung jawab sebagai insan manusia yang berbudi luhur. Para guru harus lebih aktif berlaku sebagai orang tua kedua bagi siswa di sekolah yakni memberikan perhatian dan pengawasan akan perkembangan siswa di sekolah. Jangan sampai para orangtua justru merasa terancam menitipkan anak-anak mereka di sekolah.
Pihak sekolah jelas tidak bisa berpangku tangan dalam hal ini. Merekalah yang paling bertanggung jawab atas kasus-kasus yang telah dijabarkan diatas. Untuk membayar kelalain mereka selama ini,  mereka harus bekerja keras menggiatkan berbagai upaya agar fenomena tersebut tidak terus berkepanjangan dan merajai lingkungan sekolah.
Sesungguhnya sekolah bukan tidak bergerak dalam memerangi narkoba, hanya saja peranannya yang kurang gencar dilakukan. Tidak jarang diadakan seminar mengenai bahaya narkoba di sekolah, namun hasilnya kurang efektif. Belajar dari pengalaman ini seharusnya sekolah melakukan inovasi baru dalam penyampaian materi mengenai bahaya narkoba. Film misalnya, seperti yang kita ketahui nonton film ke bioskop merupakan kegiatan yang banyak dilakukan remaja zaman sekarang. Kita bisa memanfaatkan kebiasaan ini menjadi media yang menarik dalam menanamkan keasadaran dalam diri siswa akan pentingya menjauhi narkoba. Sekolah bisa mengadakan secara frekuentif acara nonton bareng film-film yang mengandung pesan akan bahaya narkoba. Saya rasa cara ini akan lebih efektif dibandingkan seminar yang cenderung membosankan bagi para siswa.
Selain itu sekolah juga perlu meningkatakan pengawasannya terhadap arus pergaulan yang terjadi di lingkungan sekolah. Tidak menutup kemungkinan seorang siswa yang bersih dari narkoba saat masuk sekolah, justru terjerat narkoba saat duduk di kelas dua atau tiga karena dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya yang salah. Menurut pengalaman saya dan beberapa teman yang berasal dari sekolah lain, sekolah hanya melakukan tes urin untuk mengetahui positif atau tidaknya seorang anak terjerat narkoba – pada tes penerimaan siswa baru. Anak yang terbukti positif tentu tidak akan diterima. Lantas apa kabar dengan anak-anak yang lolos tes dan diterima di sekolah? Apakah tes ini bisa menjamin bahwa anak-anak tersebut akan terbebas dari jeratan narkoba selama tiga tahun ke depan? Jawabannya tentu tidak. Sudah sepatutnya sekolah melakukan tes urin secara rutin untuk memperketat pengawasannya terhadap peredaran narkoba di sekolah.
Upaya-upaya  diatas penting untuk dilakukan mengingat peredaran narkoba di sekolah jelas merupakan rantai kenistaan yang harus diputus. Rantai yang mengikat erat manusia dalam kungkungan keterpurukan. Sekolahlah pihak yang paling bertanggung jawab untuk memutuskan rantai tersebut. Semoga dengan memperketat pengawasan serta meningkatkan pemahaman siswa tentang bahaya narkoba, sekolah bisa menciptakan generasi yang sehat jiwa dan raganya. Generasi yang siap membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Indonesia yang terbebas dari jeratan narkoba.

Devi Heryanti
085695524323
Sampoerna School of Education



3/4/11

Usia Bukan Jaminan


              Usia masuk sekolah yang dibatasi memang berita yang sudah berlalu dan perlahan terlupakan oleh khalayak. Hal kecil dalam dunia pendidikan ini kerap dianggap sepele oleh masyarakat, padahal hal ini dapat berdampak panjang terhadap pendidikan si anak. Banyak dari kita tidak menyadari bahwa dampak dari kebijakan tersebut terus bergulir hingga saat ini. Orang-orang sibuk memperdebatkan masalah ini beberapa tahun lalu, namun kemanakah suara-suara itu sekarang? Berhentikah sampai disini? Disaat dampak negatif dari kebijakan ini benar-benar membuat kewalahan para guru dan siswa itu sendiri.
            Ketika otonomi daerah mulai diberlakukan sejak 2001 lalu, urusan pendidikan dasar menjadi urusan di bawah dinas pendidikan masing-masing daerah. Jakarta Selatan misalnya, memilih angka 6 sebagai batas minimum usia masuk sekolah dasar di daerahnya. Setiap tahun, puluhan bahkan ratusan anak batal masuk sekolah karena usia yang tidak memenuhi batas minimal. Tidak sedikit memang sekolah yang memberikan kelonggaran beberapa bulan dari batas minimal usia yang ditetapkan, namun banyak  juga yang tidak mentolerir barang satu hari pun.
Banyaknya anak yang batal masuk sekolah dasar juga banyak disebabkan oleh kerancuan antara batas minimum usia di taman kanak-kanak dengan batas minimum usia di sekolah dasar. Sebagai contoh, ada siswa yang sudah dua tahun belajar di taman kanak-kanak namun belum juga bisa melanjutkan ke sekolah dasar karena belum genap berusia enam tahun. Hal ini terjadi karena batas minimum usia di taman kanak-kanak tidak sesuai dengan batas minimum usia di sekolah dasar.
            Apakah sebenarnya yang menjadi landasan dari kebijakan tersebut? Secara psikologis, pada usia enam tahun anak dianggap sudah mampu melakukan sesuatu secara mandiri. Inilah yang kemudian mendasari diberlakukannya kebijakan tersebut. Padahal faktanya usia enam tahun tidak menjamin seorang anak siap memasuki dunia sekolah. Perkembangan mental anak tidak bisa disamaratakan berdasarkan perkembangan usia. Didikan orang tua mempunyai peranan penting dalam menunjang perkembangannya.
            Pada awalnya kebijakan ini bertujuan untuk memudahkan para guru maupun siswa dalam proses belajar mengajar di kelas. Para guru dianggap akan lebih mudah mendidik siswa-siswa yang secara mental sudah siap memasuki sekolah. Siswa-siswa yang sudah mampu untuk bertanggung jawab secara mandiri tanpa bergantung pada orang tua. Selain itu kebijakan ini juga bermaksud untuk memudahkan para siswa dalam menerima pelajaran. Dengan memasuki sekolah pada usia yang cukup siswa diharapkan mampu mengatasi masalah dan bobot pelajaran yang semakin meningkat sesuai dengan tingkatan kelas.
            Namun fakta yang terjadi di lapangan tidak seperti apa yang dicita-citakan. Kebijakan ini justru membuat para guru kewalahan. Menurut pengakuan salah satu guru yang saya wawancarai, berbagai kesulitan ia temui sejak diberlakukannya kebijakan tersebut. Kebanyakan siswa belum memahami arti sekolah itu sendiri. Tidak mau masuk kelas tanpa didampingi orang tua merupakan bukti yang paling nyata atas ketidaksiapan tersebut. Hal ini tidak lepas dari kelengahan para orang tua yang tidak peka terhadap kondisi anak. Kebanyakan dari mereka tidak menyadari ketidaksiapan anak meski usia mereka telah menginjak usia enam tahun.
            Sesungguhnya kesulitan tidak hanya ditemui oleh guru. Para siswa pun mengalami hal yang sama. Mereka kesulitan menerima pelajaran karena memang kondisi mereka yang belum siap untuk memasuki dunia sekolah. Ketidakmampuan mengatasi masalah di kelas seperti menjawab pertanyaaan guru, bergaul dengan teman atau hal-hal lain dapat menghilangkan kepercayaan diri siswa saat bersekolah dan membuat mereka merasa tidak bahagia untuk bersekolah. Dampak yang lebih parah jika seorang anak tidak siap adalah saat mereka harus mengulang. Ini bisa menjadi pengaruh yang sangat buruk pada perkembangan mentalnya dalam memandang masa depan.
            Dari serangkaian fakta-fakta yang terjadi di lapangan, sepertinya pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan tersebut. Apakah membatasi usia sekolah benar-benar diperlukan?. Kalaupun jawabannya iya, saya harap pemerintah memberikan batasan minimum usia tidak hanya di sekolah dasar tetapi di taman kanak-kanak juga demi mencegah terjadinya kerancuan yang telah digambarkan sebelumnya.
            Tetapi bagaimana pun juga, saya tetap termasuk orang yang tidak setuju dengan kebijakan ini. Menurut saya sungguh tidak bijak rasanya mengukur kesiapan anak bersekolah hanya dari batasan usia. Lebih tua bukan berarti lebih siap. Sebelum diberlakukannya kebijakan tersebut, tidak sedikit anak usia dibawah enam tahun mampu bersekolah, bahkan prestasinya melebihi anak yang usianya lebih tua. Haruskah kita menahan mereka untuk bersekolah hanya karena usia yang belum cukup, padahal kemampuan intelektual dan emosionalnya sudah mampu untuk bersekolah. Semantara kita menerima anak yang sudah cukup usia tapi kesiapan sekolahnya masih diragukan. Ironisme yang kerap saya lihat di dunia pendidikan dewasa ini.
            Para orang tua pun perlu melakukan introspeksi. Apakah sebenarnya anak mereka sudah siap memasuki dunia sekolah. Tentu saja para orang tua ini tidak bisa tinggal diam hanya menunggu sang anak siap bersekolah. Perlu dorongan pula dari para orang tua dengan memberikan pemahaman tentang sekolah sejak dini. Membiasakan anak untuk bersikap mandiri dan bertannggungjawab pada apa yang menjadi kewajibannya. Memasukan anak ke taman kanak-kanak sebelum memasuki sekolah dasar merupakan pilihan tepat menurut saya. Dari sanalah siswa akan belajar secara langsung dari pengalaman mereka tentang seperti apa itu sekolah, sehingga mereka tidak kaget begitu memasuki sekolah dasar.