1/4/13

Kekuatan Berbicara tanpa Suara

Tak pernah aku rencanakan sebelumnya untuk bergabung dalam suatu komunitas pemerhati disabilitas. Disabilitas merupakan keadaan seseorang yang berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Hingga saat ini masih banyak orang yang tega menyebut para penyandang disabilitas sebagai orang cacat. Kasar memang panggilan tersebut. Justru karena itulah aku tergabung dalam IDCC (Indonesia Disabled Care Community) yang salah satu misinya adalah menghilangkan panggilan cacat dan menggantinya dengan panggilan yang lebih bersahabat yaitu pendis (penyandang disabilitas).
Kali ini aku tidak akan bercerita banyak tentang IDCC, tapi aku akan sedikit mengulas dampak yang aku peroleh dengan bergabung dalam IDCC. Aku jatuh hati pada  tunarunngu dengan bahasa isyarat mereka. Sebelum berpikir yang bukan-bukan, tolong lanjutkan dulu tulisan ini. Akan dijelaskan lebih lanjut maksud jatuh hati disini.

Di penghujung tahun 2012 lalu, aku dan teman-teman IDCC berlibur ke Solo. Kata berlibur mungkin kurang mewakili, tapi itu salah satu bentuk usahaku menikmati perjalanan ke Solo. Kota Solo memang terkenal dengan keramahannya terhadap para penyandang disabilitas. Ya, ramah baik dari segi masyarakatnya maupun fasilitas umum yang tersedia. Karena itulah IDCC berkunjung ke Solo, untuk menyaksikan langsung bagaimana para pendis benar-benar hidup disana. Dan benar, aku menyaksikan sendiri bagaimana mereka hidup menyatu dengan masyarakat tanpa mengalami perlakuan berbeda apalagi pandangan sebelah mata.

Di Solo, selain melakukan rangkaian panjang kegiatan berhubungan dengan disabilitas, IDCC juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Solo. Selain belajar tentang berorganisasi dan tetek bengek seperti pembuatan proposal dan lain-lain, tentunya kami memanfaatkan kesempatan itu untuk belajar bahasa isyarat yang mereka gunakan dalam berkomunikasi sehari-hari. Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, mengapa mereka (tunarungu atau tuli) menggunakan bahasa isyarat? Bukankah mereka tidak bisa mendengar namun bisa berbicara? Ya, sebagian besar tunarungu memang merupakan tunawicara. Aku tidak tahu pasti alasan medis yang melatarbelakangi hal tersebut.

Kembali ke bahasa isayarat, aku takjub dengan komunikasi tanpa suara itu. Yang selama ini aku rasakan, faktor suara sangat mempengaruhi kesanku dalam menyimak pembicaraan seseorang. Tapi kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku bak tersihir dengan gerakan tangan yang penuh makna itu. Aku takjub bagaimana bahasa isyarat luar biasa mampu mewakili jati diri mereka tanpa suara. Saat pemimpin lain berpidato dengan suara lantang agar terlihat gagah, tanpa suara dia mampu berbicara dengan wibawa yang kental sebagai seorang pemimpin. Lagi, tanpa suara, aku bisa mengenali mana diantara mereka yang periang dan senang berbicara. Lagi, tanpa suara, aku bisa mengenali mana diantara mereka yang cenderung pendiam. Lagi, tanpa suara, aku merasakan gelak tawa mereka yang memenuhi ruangan selama perbincangan. Lagi, tanpa suara, aku merasakan keramahan mereka menyambut kami tanpa basa-basi. Lagi, tanpa suara, aku mendengar mereka bercerita dengan runut. Banyak lagi dan lagi hal-hal lain yang terjadi tanpa mereka bersuara.

Tapi dibalik rasa takjub dengan bahasa isyarat, terselip kekhawatiran yang dititipkan teman-teman Gerkatin. Ya, bahasa isyarat cenderung dikesampingkan. Pemerintah lebih menekan sahabat tunarungu untuk berkomunikasi secara oral. Ini bukanlah isapan jempol. Sebelumnya aku pernah berkunjung ke SLB Santirama untuk mengamati proses belajar disana. Dan memang, mereka didorong untuk melakukan komunikasi secara oral. Membaca gerak bibir saat mendengarkan dan berusaha menggunakan lisan saat berbicara. Tentu ini bukanlah hal yang mudah bagi sahabat tunarungu.

Menurut hasil bincang-bincang dengan salah satu guru yang mengajar sahabat tunarungu, hal tersebut ditekankan justru untuk memudahkan para sahabat tunarungu untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas karena tidak semua orang mengerti dan mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Terlebih setiap daerah memiliki bahasa isyarat yang berbeda-beda. Itu akan menyulitkan sahabat tunarungu untuk berkomunikasi dengan masyarakat di daerah lain walau dengan sesama tunarungu sekalipun.

Tapi di sisi lain, bahasa isyarat merupakan angin segar untuk sahabat tunarungu sendiri. Banyak diantara mereka yang mengaku pendiam sebelum memngenal bahasa isyarat. Namun setelah mengenal bahasa isyarat, mereka menjadi lebih percaya diri untuk berbicara. Mereka menemukan media untuk menyuarakan apa yang ingin mereka sampaikan. Disamping itu, bahasa isyarat merupakan bagian dari kebudayaan. Hal itu terbukti dengan bahasa isyarat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Sama hal nya dengan bahasa daerah seperti bahasa sunda, bahasa jawa, bahasa padang, bahasa pelembang, bahasa maluku dan masih banyak lagi. Namun perbedaan itu disatukan dengan bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Begitu juga dengan bahasa isyarat, untuk mempersatukannya ada Bahasa Isyarat Indonesia atau yang disingkat BISINDO. Ada pula Alfabet Isyarat Indonesia yang lebih mudah bagi masyarakat awam untuk berkomunikasi dengan tunarungu. Lantas, masih haruskah bahasa isyarat dikesampingkan?

Terlepas dari permasalahan bahasa isyarat, pengalaman berinteraksi dengan sahabat tunarungu semakin meyakinkanku bahwa tidak ada perbedaan antara kita dan mereka. Berbicara tanpa suara bukanlah hambatan yang membuat mereka terbatas. Kita dan mereka, sama. Aku yakin tidak hanya tunarungu, apapun disailitas yang disandang sahabat lainnya, mereka pasti memiliki keistimewaan yang akan membuatku jatuh hati. Dan aku menunggu masa-masa itu.

4 comments:

  1. semoga tulisan2 ini dibaca para ortu sehingga mereka lebih semangat dalam memperjuangkan buah hatinya... txs kawan atas tulisan2mu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih mas canting :). Semoga saya terus semangat menulis ya, masih suka males soalnya. hehe

      Delete
  2. zzzzz tulisan ini bikin gue bersyukur banget dapet kesempatan belajar bahasa isyarat di Solo. Bahasa ini unik...semoga masih bisa terus belajar di Jakarta -,-

    ReplyDelete
  3. Trima kasih atas karya tulisnya yg sarat akan pesan moral buat pembaca blog anda mba Devi. Langkah sederhana ini akan memberikan nuansa, menggugah hati serta pikiran kita untuk lebih banyak memahami dan mengerti pada lingkungan di sekitar kita berada. Ada tunarungu ada tuna netra, tunadaksa, tunagrahita dan yg paling parah lagi tuna ganda yaitu orang yg memiliki cacat tubuh dan mental sekaligus serta masih banyak lagi tuna-2 yg lain.

    Kira-2 apa yg bisa kita lakukan dan bermanfaat buat mereka Ya?

    Harapan saya kita bisa melakukan sesuatu yg sangat bisa membantu mereka untuk menjadikan mereka manusia-2 mandiri secara mental, sosial dan finansial.

    ReplyDelete