9/4/12

S2 adalah sebuah pilihan


Suatu sore, alat komunikasi berbentuk kontak milikku berbunyi singkat. Dengan warna merah yang berkedip diujung kanan bagian atas, kuraih alat tersebut. Ternyata seorang teman lama meng-invite-ku. Entah darimana ia peroleh kontakku, invitation itu pun dilanjutkan dengan pertanyaan. Dia adalah kakak kelasku semasa SMU. Selain cerdas secara akademik, aku mengenalnya sebagai sosok yang bijak, dewasa dan pemikirannya yang sering membuatku tercekak. Dia kerap memiliki perspektif tersendiri menanggapi hal dalam hidup.

8/27/12

#berbenah

Sekarang ini Jejaring Sosial Twitter sedang digandrungi para kamu sosialita mulai dari remaja galau sampai dengan para tokoh-tokoh terkenal nan inspiratif. Tak jarang para tokoh inspiratif ini pun kerap membagi pengelaman dan pengetahuannya kepada para followernya melalui tweets yang saling bersambungan di timeline para followernya. Untuk memudahkan tweets yang saling bersambungan tersebut ditandai dengan hastag diikuti judul atau topik yang sedang dibahas saat itu. Tweets semacam ini dikenal dengan sebutan kultweet.

8/13/12

Mengawinkan Idealisme dengan Realita


Banyak orang bilang bahwa Idealisme akan memudar saat seseorang dihadapkan pada realita hidup yang sebenarnya, hidup berkeluarga, bertanggung jawab terhadap anak dan istri/suami, dan masalah lainnya. Itu pula yang mendasari mengapa aku memilih room Youth Volunteerism pada acara Future Leader Summit 2012 yang diselenggarakan di UNDIP Semarang pada Kamis 12 Juli 2012 lalu. Selain Education, aku memiliki ketertarikan yang besar di dunia volunteerism. Menurutku keduanya adalah hal yang sangat berkaitan dan merupakan bagian dari cita-cita hidupku. Aku ingin semua anak dapat memperoleh haknya yakni mengenyam pendidikan. Aku ingin berkontribusi secara ikhlas, memberikan pendidikan bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya sekolah yang semakin melangit. Namun ada kegalauan tersendiri yang aku rasakan dalam memandang masa depan kelak. Dibalik idelaismeku untuk menjadi guru volunteer, ada realita yang harus aku hadapi. Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahku semakin menua, akulah calon tulang punggung keluarga kelak disaat ayah tak lagi kuat mencari nafkah. Akulah yang bertanggung jawab atas pendidikan adik-adikku nanti.

8/1/12

Adaptasi

Cerita ini kutulis dengan penuh linangan air mata. Hari ini adalah hari keberangkatan adikku Tiara ke pesantren. Yang paling membuatku sedih adalah tidak bisa ikut mengantarnya karena harus menghadiri UAS. Aku teringat akan masa lampau yang mengakibatkan kekhawatiran menatap apa yang akan terjadi di depan (paling tidak beberapa hari ke depan). Pernahkah anda menjadi orang asing yang dikucilkan? Atau secara tidak sengaja merasa terkucilkan? Ya, aku pernah mengalaminya. Pahit dan pedih bercampur jadi satu. Tapi itulah proses yang turut membentuk pribadiku menjadi seseorang yang lebih peka terhadap kehadiran orang lain.
                Dulu sebelum diterima menjadi mahasiswa SSE (Sampoerna School of Education), aku sempat bekerja selama tiga bulan di salah satu restoran terkemuka di Jakarta. Hari pertama bekerja, kesedihan mulai tercium. Aku dimarahi senior karena ketidaktahuanku, ketidaktahuan yang semestinya wajar bagi seorang pegawai baru. Memang tidak semua senior berlaku demikian, ada senior yang bersikap ramah kepadaku, tapi itu pun relatif. Keramahannya hanya sebatas pertanyaan interogatif yang kerap ditanyakan senior kepada junior. Saat istirahat tiba, aku menikmati makan siangku sendiri. Mereka sibuk dengan makan siang mereka diselingi obrolan yang aku tidak mengerti. Aku satu-satunya pegawai baru saat itu. Tidak ada teman berbagi perasaan atas perlakuan-perlakuan senior yang tidak mengenakkan. Sebenarnya usia kami tidak terpaut jauh, tapi posisiku yang baru saja lulus SMA dan belum ada pangalaman kerja menjadikanku seseorang yang paling lugu disana. Mereka seperti enggan berteman denganku karena keluguanku itu. Mungkin aku ngga asik buat mereka.
                Kondisi seperti itu harus aku alami cukup lama yaitu satu bulan pertama. Setelah satu bulan berlalu saya mulai bisa membaur. Namun bukan berarti perlakuan tidak enak berakhir disana, masih ada saja senior yang bersikap tidak sepatutnya saat aku melakukan kekeliruan, hanya saja aku sudah kebal dan menanggapinya dengan cuek. Dari pengalaman tersebut aku belajar bahwa itulah proses adaptasi yang sebenarnya di dunia kerja. Bukan merasa terkucilkan apalagi dikucilkan. Memulai hubungan dari nol dimana kita berada di posisi asing yang belum tahu apa-apa, belum dipercaya melakukan apa-apa. Disitulah tantangan bagi kita untuk menunjukkan performa terbaik, aktualisasi diri sebagai seseorang yang berkualitas terlepas dari apapun pekerjaan yang kita geluti. Mungkin tidak semua pegawai baru mengalami pengalaman sepahit aku karena setiap orang memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda. Tetapi aku tetap bersyukur dengan kemampuan adaptasiku yang ada adanya, karena dari situ aku menjadi semakin peka berempati terhadap orang baru atau orang asing yang masuk dilingkungan dimana aku berada.
                Setahun yang lalu aku dan kedua orang sahabat memberanikan diri belajar ke pare, kampung inggris yang terkenal itu. Kami ngekos di salah satu rumah warga disana. Ukuran kamarnya cukup besar, diisi oleh empat sampai lima orang setiap kamarnya. Bukan kampung inggris atau kos-kosan yang ingin aku ceritakan kali ini, melainkan gadis lugu yang ngekos tepat di sebelah kamarku, Alda namanya. Alda baru kelas 1 SMP. Disana dia satu kamar dengan empat orang kakak kelas yang tidak ia kenal. Loh kok bisa? Jadi ibunya Alda berteman baik dengan ibunya Anisa (Anisa SMA sementara Alda SMP, namun keduanya bersekolah di yayasan yang sama). Kedua ibu tersebut sepakat agar anak-anaknya belajar di pare. Sesampainya di pare, Anisa yang merasa lebih dewasa lantaran sudah SMA memilih untuk tidak sekamar dengan Alda. Anisa memilih kamar lain dengan dua orang teman sekolahnya yang juga belajar ke pare. Anisa menempatkan Alda dikamar lain bersama anak-anak SMP kelas 2 yang juga adik kelasnya.
                Mereka semua hanya belajar di pare selama dua minggu. Pada minggu pertama, aku sama sekali tidak meyadari kehadiran Alda. Aku hanya melihatnya beberapa kali sedang menonton telivisi di ruang tengah. Aku mengira dia adalah kerabat ibu kos yang sedang berkunjung, karena selama dua hari berikutnya (Sabtu dan Minggu) aku tak lagi melihatnya. Sampai akhirnya, minggu malam Alda kembali bersama ibunya. Aku yang baru saja hendak tidur terkaget dengan suara tangisan Alda. Ia menangis lantaran tidak ingin ditinggal sang ibu. Anisa dan teman-teman sekamarnya mulai membujuknya. Alda akhirnya berhasil dibujuk, sang ibu pun pulang. Mulai saat itu aku sering memperhatikan Alda. Ternyata Alda sering sendiri, belajar sendiri, dikamar sendiri, nonton tv sendiri dan beli makan untuk sahur dan berbuka sendiri. Keempat teman sekamar yang notabene kakak kelasnya sering menghilang entah kemana. Begitu juga Anisa yang sibuk dengan urusannya. Aku menjadi semakin simpatik, selain karena wajahnya yang mirip Tiara, aku pernah berada di posisinya. Sejak saat itu aku selalu mengajaknya ngobrol di waktu senggang. Mengajaknya membeli makan bersama, menonton tv bersama sampai sholat tarawih bersama.
                Kisah pertemuanku dengan Alda mengingatkanku pada kondisi Tiara saat ini. Tiara adalah satu-satunya anak baru di pesantren. Ini terjadi karena pada dasarnya tahun ajaran baru akan dimulai selepas Idul Fitri nanti, namun orang tuaku memutuskan untuk memberangkatkannya sekarang agar ia dapat segera beradaptasi dengan lingkungan disana. Adaptasi. Terbayang beratnya adaptasi yang harus dilalui Tiara dengan enam orang teman sekamar yang semuanya adalah kakak kelasnya. Aku hanya berharap apa yang dialami oleh Alda di pare waktu itu tidak dialami Tiara di pesantren. Semoga perhatianku terhadap Alda kala itu berbuah manis pada Tiara. Kiranya ada salah seorang senior yang ikhlas berteman dan membimbingnya mengenal lingkunga disana.
               

7/31/12

Bukanlah Robot apalagi Tuhan


Menjadi guru privat. Ya, itulah pekerjaan yang banyak digeluti oleh mahasiswa khususnya yang berasal dari jurusan kependidikan seperti aku. Bagaimana tidak, selain menghasilkan tambahan uang saku, mengajar privat juga memberikan kesempatan untuk mengaplikasikan apa yang kita peroleh dalam perkuliahan. Singkat kata, mengajar privat adalah ajang latihan menjadi guru. Berikut akan kuceritakan sepenggal pengalaman mengajarku. Mengajar murid baruku yang duduk di bangku SMU kelas X.
Waktu hampir menunjukkan pukul 7 malam. “Sudah saatnya berangkat” ungkapku ragu. Rasa gugup menyelinap di setiap hela nafasku kala itu. Telapak tanganku sedikit berkeringat. Tak henti-hentinya aku kepalkan telapak tanganku untuk sekedar menguatkan hati. Deru motor dalam perjalanan semakin membuat pikiranku carut marut. Muncul berbagai dugaan tentang apa yang akan terjadi pada pertemuan pertama malam itu.
“Dia laki-laki atau perempuan ya?”
“Bawel atau justru pendiem?”
“Nanti langsung belajar atau ngobrol-ngobrol dulu?”
“Anaknya nyaman gak ya belajar sama gue?”
“Kaya gimana ya anaknya?”
“Gue bisa ngajar sesuai gaya belajar dia gak ya?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiranku. Sampai akhirnya aku berdiri tepat di depan sebuah rumah. “Jl. blablabla no.29. Bener kok ini rumahnya” ujarku memastikan. Ku pencet bel rumah itu, sesaat kemudian keluarlah seorang perempuan yang sangat sopan. Dia mempersilahkan aku menuju ruang tamu. Belum lama aku  duduk di sofa yang empuk, munculah seorang gadis cantik berkulit putih berambut panjang. Matanya yang indah berbinar menatapku ramah. “Hai, kenalin aku Devi” sapaku seramah-ramahnya. Dia hanya menjawab dengan satu senyuman yang tersungging di wajahnya. Sepertinya dia agak pemalu. “Wajarlah pertemuan pertama”, kataku dalam hati.
Selesai perkenalan suasana hening menyelimuti. Dia hanya menjawab pertanyaanku tanpa bertanya balik. “Di sekolah udah belajar sampe mana?” tanyaku memecah keheningan. Dia pun membuka bukunya, menunjukkan materi yang terakhir dipelajari di sekolah. Bukannya mencair, suasana justru semakin menerkamku. Itulah klimaks dari kegugupanku malam itu. Materinya melampaui jauh apa yang aku persiapkan semalam. Sontak aku mengajar tanpa persiapan malam itu. Hatiku menciut, mulutku terkatup. Beberapa lama aku tenggelam, mengingat-ingat materi itu. Dengan penjelasan sekenanya ku bimbing dia menyelesaikan soal demi soal. Sempat beberapa kali aku gelagapan saat ia menanyakan hal yang benar-benar aku lupa. Kalau sudah begitu, kubuka buku SMU-ku yang sengaja aku bawa, ku bolak-balik untuk waktu yang cukup lama (lama, sampai ia terlihat bosan) hingga aku berhasil mengingat dan menjelaskan kepadanya. “Memalukan” ratapku dalam hati. Pertemuan pertama berakhir dengan sedikit rasa gagal memburuku.
Pertemuan kedua aku datang dengan penuh percaya diri. Sengaja aku membaca banyak materi yang akan dipelajari malam itu sebelum bertandang. Sesampainya disana, dia langsung menyodorkan PR-nya. Dengan mantap aku membimbingnya menjawab perhitungan-perhitungan yang rumit. Sampai pada soal teori (soal yang tidak memerlukan perhitungan untuk menjawabnya), praktis aku berkata “Ini sih gampang, ga pake itung-itungan. Jawabannya udah ada di buku, tinggal baca aja. Kita lanjut ke soal-soal itungan yang kamu masih bingung aja”. Mengingat waktu belajar yang tidak lama lagi, dia menurut.
Tiba di soal terakhir, merasa agak aneh saat membacanya aku pun bertanya, “eh ini kan pelajaran kelas XI?”. “Masa sih ka, kelas X ah” jawabnya. Ya, kurikulum memang berkembang cukup pesat. Dengan perasaan malu melingkar di leher, aku mengaku “oh dulu aku belajar ini pas kelas XI, yaudah kamu isi sendiri ya. Udah malem nih, aku juga agak lupa materi ini. Maaf ya”. Hanya kalimat itulah yang aku ucapkan untuk menutup pertemuan malam itu.
Ya, kedua pengalaman singkat ini memberikanku banyak pelajaran. Menyadarkanku bahwa mengajar bukanlah pekerjaan sederhana. Butuh persiapan yang matang untuk dapat memfasilitasi anak didik secara maksimal. Namun memfasilitasi maksimal bukan berarti memanjakan mereka. Guru privat bukanlah robot yang dibayar untuk menjawab semua PR. Tanpa maksud menggurui tapi inilah disfungsi yang kerap terjadi. Yang seharusnya dilakukan ialah membantu mereka memahami konsep-konsep yang belum dipahami dalam mengejar katertinggalan yang dialami di sekolah.
Guru juga bukan Tuhan yang tau segala hal, karena itu kita perlu banyak belajar termasuk update dengan segala perkembangan dalam dunia pendidikan. Belum lagi perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat di era globalisasi seperti sekarang ini. Menyandang tugas “mengajar” bukan berarti berhenti “belajar” . Seperti apa yang telah diungkapkan salah satu dosen kebanggaanku. Siswa yang belajar dari guru yang tidak membaca bagaikan minum air dari kolam yang jenuh. Tetapi siswa yang belajar dari guru yang membaca bagaikan minum air dari kolam yang terus dialiri air jernih, tak akan pernah habis.
Devi Heryanti
Sampoerna School of Education

7/30/12

Teacher as a Person, Teacher as a Profession


                Apa yang terlintas di pikiran anda saat mendengar kisah tentang seorang guru yang jatuh cinta di sekolah? Ya, tidak sedikit masyarakat yang akan berpandangan negatif tentang hal ini. Jatuh cinta di sekolah dianggap berbenturan dengan profesionalitas seorang guru. Padahal di luar profesionalitasnya, guru hanyalah manusia biasa yang patut merasakan indahnya jatuh cinta. Inilah yang mengakibatkan jatuh cinta di sekolah bagi guru masih menjadi kontroversi di masyarakat.
                Ketika mendengar istilah jatuh cinta, kebanyakan orang akan terbayang tentang kisah manis sepasang manusia yang sedang kasmaran. Padahal jatuh cinta memiliki makna yang universal tanpa bisa didefinisikan secara pasti. Begitu juga halnya dengan jatuh cinta di sekolah yang dialami guru, ada banyak macamnya. Jatuh cinta pada siswa atas kegigihan dan prestasinya. Jatuh cinta pada guru lain karena kreatifitasnya dalam mengajar yang menginspirasi guru lain. Atau jatuh cinta justru pada mengajar itu sendiri, rindu bertemu para siswa dan belajar bersama. Namun ada juga jatuh cinta yang dialami guru berkaitan dengan keterkaitan antar lawan jenis, baik yang terjadi sesama guru ataupun antara guru dengan siswa. Inilah yang kerap disorot sinis oleh masyarakat.
                Predikat guru sebagai panutan seakan memaksa guru untuk selalu bertindak layaknya malaikat, bersih tanpa cacat sedikitpun. Tidak ada yang salah dengan asumsi tersebut. Seorang guru memang patut untuk selalu bertindak bijak dan berbudi luhur sebagai contoh bagi para anak didiknya (SOURCE). Namun tidak jarang masyarakat mengartikan hal tersebut secara berlebihan. Bahkan hal-hal manusiawi pun (red: jatuh cinta) seakan tabu ketika bersentuhan dengan profesi guru. Lantas apa yang sebenarnya menjadi masalah? Profesi guru yang disandang atau justru pandangan masyarakat yang terbentuk?
                Guru jatuh cinta di sekolah memang bukanlah hal yang dilarang. Tidak ada undang-undang yang menegaskan hal tersebut. Belum ada pula peraturan sekolah yang menerangkan hal terkait jatuh cinta di sekolah. Namun bukan berarti sosok guru bisa bersikap bebas atas hal ini. Tanpa aturan yang baku, semua kembali pada norma yang berlaku di masyarakat. Guru tetaplah guru, sosok yang diteladani oleh seluruh siswanya. Seyogyanya para guru bisa bertindak profesional dalam jatuh cinta di sekolah. Para guru harus bisa menempatkan diri dalam  setiap tindak tanduknya. Sekolah adalah tempat mereka mengajar. Alangkah baiknya hubungan cinta yang terjadi tidak ditunjukkan saat berada di lingungan sekolah.
                Berada dalam posisi ganda, yakni guru sebagai profesi dan guru sebagai manusia biasa, jatuh cinta membawa dilemma tersendiri. Jalan terbaik selain pandai menempatkan diri ialah menyeimbangkan kedua peran yang dimiliki. Saat berada diluar sekolah tentunya makna profesinalitas menjadi sedikit lebih lunak. Guru berhak mengurus urusan pribadinya dengan tetap menjungjung tinggi norma yang ada di masyarakat. Terlepas dari apapun profesi yang jalani, seseorang haruslah menghormati etika susila yang berlaku dalam menjalin cinta. Terlebih lagi seorang guru, panutan masyarakat yang menitipkan anak-anaknya untuk dididik menjadi pribadi yang baik. Apabila profesionalitas dalam menjalin hubungan percintaan dapat terwujud selaras dengan norma-norma yang berlaku, pandangan negative masyarakat mengenai kisah guru jatuh cinta di sekolah akan perlahan memudar.
                Tidak ada yang patut dipermasalahkan ataupun dipersalahkan. Setiap orang memiliki hak untuk berasumsi apapun. Begitu juga guru yang berhak untuk memaknai profesionalitasnya secara subjektif perihal jatuh cinta di sekolah. Dengan kata lain semuanya kembali pada masing-masing pihak menyikapi hal tersebut. Ini disebabkan karena memang tidak adanya peraturan hitam diatas putih terkait etika guru jatuh cinta di sekolah (SOURCE). Norma yang dianut dalam masyarakatlah yang menjadi dasar penilaian atas hal ini. Tinggalah bagaimana norma-norma tersebut ditanggapi secara bijak.
                 

7/24/12

Bullying


                Based on several articles that I had read, there were so many opinions about the definition of bullying. However, there is a common condition that we can conclude about bullying. Bullying was happened when there was someone who weaker getting hurt by the stronger for evil reason. According to this conclusion, bullying was very possible to be happened in social life especially to children with special needs. Their character which was weak, needed special help and had unusual behavior easily became the target to be victim of bullying from their friends. That was one of issues about bullying in inclusive education that happened to the student with special needs like Ken. An article titled “Don’t laugh at me, don’t call me name” told about bullying experienced by Ken, students with Asperger Syndrome (AS).
                Student with AS have unique characteristics, there are tend to be eager. Based on the story about Brandon, we couldn’t blame his friends about bullying that they did. They did bullying to Brandon because of their disappointed. They thought that Brandon had betrayed them by telling school police man about their habit to smoke at school area. From this case, I think the first thing that must be done to avoid bullying students with special needs is openness about the condition of students with special needs. Hopefully with this openness, the other students will understand and know how to interact to student with special needs. And for enhance the other students’ understanding about respect in interacting to students with special needs children, school need to do socialization about bullying included the effect for the victim and the bully itself. Agree with Jan Blacher and friends (the writer) that the socialization must be given not only to the students, but also to the teacher, parents even staff. All elements at school have important role to build the positive environment that free from bullying. Especially for teacher, they must be prepared by skill about how to overcome bullying at school.
                James and Debra added on their article, titled “Bullying and Violence in School”, that school and teacher must be wise in designing the rule to prevent bullying at school or classroom. I think the teacher must be creative not only in designing effective rule in the classroom but also in designing lesson supported by activities which build kinship among students to love and respect each other. Teacher also could periodically do sharing session which involves whole students. On that session teacher and students will know if there were any student who felt being bullied, then together solve that problem. Teacher must able to build homey environment at school and make all students feel like a big family.
                Nowadays, bullying is one of trending topic to be discussed. Bullying not only happened in education but also in all aspect in our real life. Even comedian on TV Show often used bullying as an effective way for entertaining people. It is one of fact about what James and Debra said at their article that media provide a culture to bully. As a source of information, media should show something good and influence society not to do bullying. Especially for TV Show as the most popular media, it should provide educated entertain for society. Not stop with the TV, through the development of technology, kind of bullying also developed to be various ways. Cyntia G. Wagner explained on her article that there is Cyber Bullies. Kind of Cyber Bullies are stranger was posting altered pornographic using our photo, etc.
Overall, many facts about bullying above showed that bullying has become very close to our real life. It is not impossible that we are one victim or even the bully that hurt our friends. Even the development of technology became media for increasing of bullying. I think, the main cause of this condition is the decreasing of human awareness about bullying. The development of technology wasn’t followed by the development of human awareness about bullying. The low of human awareness was caused by the low knowledge about bullying included the effect of bullying for the victim and the bully. So the solution is, needed a socialization about bullying for society. Hopefully, media can be an agent to enhance human knowledge about bullying through educated TV Show, etc.