Apa yang terlintas di pikiran anda saat
mendengar kisah tentang seorang guru yang jatuh cinta di sekolah? Ya, tidak sedikit
masyarakat yang akan berpandangan negatif tentang hal ini. Jatuh cinta di
sekolah dianggap berbenturan dengan profesionalitas seorang guru. Padahal di
luar profesionalitasnya, guru hanyalah manusia biasa yang patut merasakan
indahnya jatuh cinta. Inilah yang mengakibatkan jatuh cinta di sekolah bagi
guru masih menjadi kontroversi di masyarakat.
Ketika mendengar istilah jatuh
cinta, kebanyakan orang akan terbayang tentang kisah manis sepasang manusia
yang sedang kasmaran. Padahal jatuh cinta memiliki makna yang universal tanpa
bisa didefinisikan secara pasti. Begitu juga halnya dengan jatuh cinta di
sekolah yang dialami guru, ada banyak macamnya. Jatuh cinta pada siswa atas
kegigihan dan prestasinya. Jatuh cinta pada guru lain karena kreatifitasnya dalam
mengajar yang menginspirasi guru lain. Atau jatuh cinta justru pada mengajar
itu sendiri, rindu bertemu para siswa dan belajar bersama. Namun ada juga jatuh
cinta yang dialami guru berkaitan dengan keterkaitan antar lawan jenis, baik
yang terjadi sesama guru ataupun antara guru dengan siswa. Inilah yang kerap
disorot sinis oleh masyarakat.
Predikat guru sebagai panutan seakan
memaksa guru untuk selalu bertindak layaknya malaikat, bersih tanpa cacat
sedikitpun. Tidak ada yang salah dengan asumsi tersebut. Seorang guru memang
patut untuk selalu bertindak bijak dan berbudi luhur sebagai contoh bagi para
anak didiknya (SOURCE). Namun tidak jarang masyarakat mengartikan hal tersebut
secara berlebihan. Bahkan hal-hal manusiawi pun (red: jatuh cinta) seakan tabu
ketika bersentuhan dengan profesi guru. Lantas apa yang sebenarnya menjadi
masalah? Profesi guru yang disandang atau justru pandangan masyarakat yang
terbentuk?
Guru jatuh cinta di sekolah
memang bukanlah hal yang dilarang. Tidak ada undang-undang yang menegaskan hal
tersebut. Belum ada pula peraturan sekolah yang menerangkan hal terkait jatuh
cinta di sekolah. Namun bukan berarti sosok guru bisa bersikap bebas atas hal
ini. Tanpa aturan yang baku, semua kembali pada norma yang berlaku di
masyarakat. Guru tetaplah guru, sosok yang diteladani oleh seluruh siswanya. Seyogyanya
para guru bisa bertindak profesional dalam jatuh cinta di sekolah. Para guru
harus bisa menempatkan diri dalam setiap
tindak tanduknya. Sekolah adalah tempat mereka mengajar. Alangkah baiknya
hubungan cinta yang terjadi tidak ditunjukkan saat berada di lingungan sekolah.
Berada dalam posisi ganda, yakni
guru sebagai profesi dan guru sebagai manusia biasa, jatuh cinta membawa
dilemma tersendiri. Jalan terbaik selain pandai menempatkan diri ialah
menyeimbangkan kedua peran yang dimiliki. Saat berada diluar sekolah tentunya
makna profesinalitas menjadi sedikit lebih lunak. Guru berhak mengurus urusan
pribadinya dengan tetap menjungjung tinggi norma yang ada di masyarakat. Terlepas
dari apapun profesi yang jalani, seseorang haruslah menghormati etika susila
yang berlaku dalam menjalin cinta. Terlebih lagi seorang guru, panutan
masyarakat yang menitipkan anak-anaknya untuk dididik menjadi pribadi yang
baik. Apabila profesionalitas dalam menjalin hubungan percintaan dapat terwujud
selaras dengan norma-norma yang berlaku, pandangan negative masyarakat mengenai
kisah guru jatuh cinta di sekolah akan perlahan memudar.
Tidak ada yang patut
dipermasalahkan ataupun dipersalahkan. Setiap orang memiliki hak untuk
berasumsi apapun. Begitu juga guru yang berhak untuk memaknai
profesionalitasnya secara subjektif perihal jatuh cinta di sekolah. Dengan kata
lain semuanya kembali pada masing-masing pihak menyikapi hal tersebut. Ini disebabkan
karena memang tidak adanya peraturan hitam diatas putih terkait etika guru
jatuh cinta di sekolah (SOURCE). Norma yang dianut dalam masyarakatlah yang
menjadi dasar penilaian atas hal ini. Tinggalah bagaimana norma-norma tersebut
ditanggapi secara bijak.
No comments:
Post a Comment