7/31/12

Bukanlah Robot apalagi Tuhan


Menjadi guru privat. Ya, itulah pekerjaan yang banyak digeluti oleh mahasiswa khususnya yang berasal dari jurusan kependidikan seperti aku. Bagaimana tidak, selain menghasilkan tambahan uang saku, mengajar privat juga memberikan kesempatan untuk mengaplikasikan apa yang kita peroleh dalam perkuliahan. Singkat kata, mengajar privat adalah ajang latihan menjadi guru. Berikut akan kuceritakan sepenggal pengalaman mengajarku. Mengajar murid baruku yang duduk di bangku SMU kelas X.
Waktu hampir menunjukkan pukul 7 malam. “Sudah saatnya berangkat” ungkapku ragu. Rasa gugup menyelinap di setiap hela nafasku kala itu. Telapak tanganku sedikit berkeringat. Tak henti-hentinya aku kepalkan telapak tanganku untuk sekedar menguatkan hati. Deru motor dalam perjalanan semakin membuat pikiranku carut marut. Muncul berbagai dugaan tentang apa yang akan terjadi pada pertemuan pertama malam itu.
“Dia laki-laki atau perempuan ya?”
“Bawel atau justru pendiem?”
“Nanti langsung belajar atau ngobrol-ngobrol dulu?”
“Anaknya nyaman gak ya belajar sama gue?”
“Kaya gimana ya anaknya?”
“Gue bisa ngajar sesuai gaya belajar dia gak ya?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiranku. Sampai akhirnya aku berdiri tepat di depan sebuah rumah. “Jl. blablabla no.29. Bener kok ini rumahnya” ujarku memastikan. Ku pencet bel rumah itu, sesaat kemudian keluarlah seorang perempuan yang sangat sopan. Dia mempersilahkan aku menuju ruang tamu. Belum lama aku  duduk di sofa yang empuk, munculah seorang gadis cantik berkulit putih berambut panjang. Matanya yang indah berbinar menatapku ramah. “Hai, kenalin aku Devi” sapaku seramah-ramahnya. Dia hanya menjawab dengan satu senyuman yang tersungging di wajahnya. Sepertinya dia agak pemalu. “Wajarlah pertemuan pertama”, kataku dalam hati.
Selesai perkenalan suasana hening menyelimuti. Dia hanya menjawab pertanyaanku tanpa bertanya balik. “Di sekolah udah belajar sampe mana?” tanyaku memecah keheningan. Dia pun membuka bukunya, menunjukkan materi yang terakhir dipelajari di sekolah. Bukannya mencair, suasana justru semakin menerkamku. Itulah klimaks dari kegugupanku malam itu. Materinya melampaui jauh apa yang aku persiapkan semalam. Sontak aku mengajar tanpa persiapan malam itu. Hatiku menciut, mulutku terkatup. Beberapa lama aku tenggelam, mengingat-ingat materi itu. Dengan penjelasan sekenanya ku bimbing dia menyelesaikan soal demi soal. Sempat beberapa kali aku gelagapan saat ia menanyakan hal yang benar-benar aku lupa. Kalau sudah begitu, kubuka buku SMU-ku yang sengaja aku bawa, ku bolak-balik untuk waktu yang cukup lama (lama, sampai ia terlihat bosan) hingga aku berhasil mengingat dan menjelaskan kepadanya. “Memalukan” ratapku dalam hati. Pertemuan pertama berakhir dengan sedikit rasa gagal memburuku.
Pertemuan kedua aku datang dengan penuh percaya diri. Sengaja aku membaca banyak materi yang akan dipelajari malam itu sebelum bertandang. Sesampainya disana, dia langsung menyodorkan PR-nya. Dengan mantap aku membimbingnya menjawab perhitungan-perhitungan yang rumit. Sampai pada soal teori (soal yang tidak memerlukan perhitungan untuk menjawabnya), praktis aku berkata “Ini sih gampang, ga pake itung-itungan. Jawabannya udah ada di buku, tinggal baca aja. Kita lanjut ke soal-soal itungan yang kamu masih bingung aja”. Mengingat waktu belajar yang tidak lama lagi, dia menurut.
Tiba di soal terakhir, merasa agak aneh saat membacanya aku pun bertanya, “eh ini kan pelajaran kelas XI?”. “Masa sih ka, kelas X ah” jawabnya. Ya, kurikulum memang berkembang cukup pesat. Dengan perasaan malu melingkar di leher, aku mengaku “oh dulu aku belajar ini pas kelas XI, yaudah kamu isi sendiri ya. Udah malem nih, aku juga agak lupa materi ini. Maaf ya”. Hanya kalimat itulah yang aku ucapkan untuk menutup pertemuan malam itu.
Ya, kedua pengalaman singkat ini memberikanku banyak pelajaran. Menyadarkanku bahwa mengajar bukanlah pekerjaan sederhana. Butuh persiapan yang matang untuk dapat memfasilitasi anak didik secara maksimal. Namun memfasilitasi maksimal bukan berarti memanjakan mereka. Guru privat bukanlah robot yang dibayar untuk menjawab semua PR. Tanpa maksud menggurui tapi inilah disfungsi yang kerap terjadi. Yang seharusnya dilakukan ialah membantu mereka memahami konsep-konsep yang belum dipahami dalam mengejar katertinggalan yang dialami di sekolah.
Guru juga bukan Tuhan yang tau segala hal, karena itu kita perlu banyak belajar termasuk update dengan segala perkembangan dalam dunia pendidikan. Belum lagi perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat di era globalisasi seperti sekarang ini. Menyandang tugas “mengajar” bukan berarti berhenti “belajar” . Seperti apa yang telah diungkapkan salah satu dosen kebanggaanku. Siswa yang belajar dari guru yang tidak membaca bagaikan minum air dari kolam yang jenuh. Tetapi siswa yang belajar dari guru yang membaca bagaikan minum air dari kolam yang terus dialiri air jernih, tak akan pernah habis.
Devi Heryanti
Sampoerna School of Education

No comments:

Post a Comment