Menjadi
guru privat. Ya, itulah pekerjaan yang banyak digeluti oleh mahasiswa khususnya
yang berasal dari jurusan kependidikan seperti aku. Bagaimana tidak, selain
menghasilkan tambahan uang saku, mengajar privat juga memberikan kesempatan
untuk mengaplikasikan apa yang kita peroleh dalam perkuliahan. Singkat kata,
mengajar privat adalah ajang latihan menjadi guru. Berikut akan kuceritakan
sepenggal pengalaman mengajarku. Mengajar murid baruku yang duduk di bangku SMU
kelas X.
Waktu
hampir menunjukkan pukul 7 malam. “Sudah saatnya berangkat” ungkapku ragu. Rasa
gugup menyelinap di setiap hela nafasku kala itu. Telapak tanganku sedikit
berkeringat. Tak henti-hentinya aku kepalkan telapak tanganku untuk sekedar
menguatkan hati. Deru motor dalam perjalanan semakin membuat pikiranku carut
marut. Muncul berbagai dugaan tentang apa yang akan terjadi pada pertemuan pertama
malam itu.
“Dia
laki-laki atau perempuan ya?”
“Bawel
atau justru pendiem?”
“Nanti
langsung belajar atau ngobrol-ngobrol dulu?”
“Anaknya
nyaman gak ya belajar sama gue?”
“Kaya
gimana ya anaknya?”
“Gue
bisa ngajar sesuai gaya belajar dia gak ya?”
Pertanyaan-pertanyaan
itu terus menggelayuti pikiranku. Sampai akhirnya aku berdiri tepat di depan
sebuah rumah. “Jl. blablabla no.29. Bener kok ini rumahnya” ujarku memastikan.
Ku pencet bel rumah itu, sesaat kemudian keluarlah seorang perempuan yang
sangat sopan. Dia mempersilahkan aku menuju ruang tamu. Belum lama aku duduk di sofa yang empuk, munculah seorang
gadis cantik berkulit putih berambut panjang. Matanya yang indah berbinar
menatapku ramah. “Hai, kenalin aku Devi” sapaku seramah-ramahnya. Dia hanya
menjawab dengan satu senyuman yang tersungging di wajahnya. Sepertinya dia agak
pemalu. “Wajarlah pertemuan pertama”, kataku dalam hati.
Selesai
perkenalan suasana hening menyelimuti. Dia hanya menjawab pertanyaanku tanpa
bertanya balik. “Di sekolah udah belajar sampe mana?” tanyaku memecah
keheningan. Dia pun membuka bukunya, menunjukkan materi yang terakhir dipelajari
di sekolah. Bukannya mencair, suasana justru semakin menerkamku. Itulah klimaks
dari kegugupanku malam itu. Materinya melampaui jauh apa yang aku persiapkan
semalam. Sontak aku mengajar tanpa persiapan malam itu. Hatiku menciut, mulutku
terkatup. Beberapa lama aku tenggelam, mengingat-ingat materi itu. Dengan penjelasan
sekenanya ku bimbing dia menyelesaikan soal demi soal. Sempat beberapa kali aku
gelagapan saat ia menanyakan hal yang benar-benar aku lupa. Kalau sudah begitu,
kubuka buku SMU-ku yang sengaja aku bawa, ku bolak-balik untuk waktu yang cukup
lama (lama, sampai ia terlihat bosan) hingga aku berhasil mengingat dan
menjelaskan kepadanya. “Memalukan” ratapku dalam hati. Pertemuan pertama
berakhir dengan sedikit rasa gagal memburuku.
Pertemuan
kedua aku datang dengan penuh percaya diri. Sengaja aku membaca banyak materi
yang akan dipelajari malam itu sebelum bertandang. Sesampainya disana, dia langsung
menyodorkan PR-nya. Dengan mantap aku membimbingnya menjawab
perhitungan-perhitungan yang rumit. Sampai pada soal teori (soal yang tidak
memerlukan perhitungan untuk menjawabnya), praktis aku berkata “Ini sih
gampang, ga pake itung-itungan. Jawabannya udah ada di buku, tinggal baca aja.
Kita lanjut ke soal-soal itungan yang kamu masih bingung aja”. Mengingat waktu
belajar yang tidak lama lagi, dia menurut.
Tiba
di soal terakhir, merasa agak aneh saat membacanya aku pun bertanya, “eh ini
kan pelajaran kelas XI?”. “Masa sih ka, kelas X ah” jawabnya. Ya, kurikulum
memang berkembang cukup pesat. Dengan perasaan malu melingkar di leher, aku
mengaku “oh dulu aku belajar ini pas kelas XI, yaudah kamu isi sendiri ya. Udah
malem nih, aku juga agak lupa materi ini. Maaf ya”. Hanya kalimat itulah yang
aku ucapkan untuk menutup pertemuan malam itu.
Ya,
kedua pengalaman singkat ini memberikanku banyak pelajaran. Menyadarkanku bahwa
mengajar bukanlah pekerjaan sederhana. Butuh persiapan yang matang untuk dapat
memfasilitasi anak didik secara maksimal. Namun memfasilitasi maksimal bukan
berarti memanjakan mereka. Guru privat bukanlah robot yang dibayar untuk
menjawab semua PR. Tanpa maksud menggurui tapi inilah disfungsi yang kerap terjadi.
Yang seharusnya dilakukan ialah membantu mereka memahami konsep-konsep yang
belum dipahami dalam mengejar katertinggalan yang dialami di sekolah.
Guru
juga bukan Tuhan yang tau segala hal, karena itu kita perlu banyak belajar
termasuk update dengan segala perkembangan
dalam dunia pendidikan. Belum lagi perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin
pesat di era globalisasi seperti sekarang ini. Menyandang tugas “mengajar”
bukan berarti berhenti “belajar” . Seperti apa yang telah diungkapkan salah
satu dosen kebanggaanku. Siswa yang belajar dari guru yang tidak membaca bagaikan
minum air dari kolam yang jenuh. Tetapi siswa yang belajar dari guru yang
membaca bagaikan minum air dari kolam yang terus dialiri air jernih, tak akan
pernah habis.
Devi Heryanti
Sampoerna School of Education