Tak pernah aku rencanakan sebelumnya untuk bergabung dalam
suatu komunitas pemerhati disabilitas. Disabilitas merupakan keadaan seseorang
yang berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Hingga saat ini masih banyak
orang yang tega menyebut para penyandang disabilitas sebagai orang cacat. Kasar
memang panggilan tersebut. Justru karena itulah aku tergabung dalam IDCC
(Indonesia Disabled Care Community) yang salah satu misinya adalah
menghilangkan panggilan cacat dan menggantinya dengan panggilan yang lebih
bersahabat yaitu pendis (penyandang disabilitas).
Kali ini aku tidak akan bercerita banyak tentang IDCC, tapi
aku akan sedikit mengulas dampak yang aku peroleh dengan bergabung dalam IDCC.
Aku jatuh hati pada tunarunngu dengan
bahasa isyarat mereka. Sebelum berpikir yang bukan-bukan, tolong lanjutkan dulu
tulisan ini. Akan dijelaskan lebih lanjut maksud jatuh hati disini.
Di penghujung tahun 2012 lalu, aku dan teman-teman IDCC
berlibur ke Solo. Kata berlibur mungkin kurang mewakili, tapi itu salah satu bentuk
usahaku menikmati perjalanan ke Solo. Kota Solo memang terkenal dengan
keramahannya terhadap para penyandang disabilitas. Ya, ramah baik dari segi
masyarakatnya maupun fasilitas umum yang tersedia. Karena itulah IDCC
berkunjung ke Solo, untuk menyaksikan langsung bagaimana para pendis
benar-benar hidup disana. Dan benar, aku menyaksikan sendiri bagaimana mereka hidup
menyatu dengan masyarakat tanpa mengalami perlakuan berbeda apalagi pandangan
sebelah mata.
Di Solo, selain melakukan rangkaian panjang kegiatan
berhubungan dengan disabilitas, IDCC juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke
Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Solo. Selain belajar
tentang berorganisasi dan tetek bengek seperti pembuatan proposal dan
lain-lain, tentunya kami memanfaatkan kesempatan itu untuk belajar bahasa
isyarat yang mereka gunakan dalam berkomunikasi sehari-hari. Mungkin sebagian
orang bertanya-tanya, mengapa mereka (tunarungu atau tuli) menggunakan bahasa
isyarat? Bukankah mereka tidak bisa mendengar namun bisa berbicara? Ya, sebagian besar tunarungu memang merupakan tunawicara. Aku tidak tahu
pasti alasan medis yang melatarbelakangi hal tersebut.
Kembali ke bahasa isayarat, aku takjub dengan komunikasi
tanpa suara itu. Yang selama ini aku rasakan, faktor suara sangat mempengaruhi
kesanku dalam menyimak pembicaraan seseorang. Tapi kali ini aku merasakan
sesuatu yang berbeda. Aku bak tersihir dengan gerakan tangan yang penuh makna
itu. Aku takjub bagaimana bahasa isyarat luar biasa mampu mewakili jati diri
mereka tanpa suara. Saat pemimpin lain berpidato dengan suara lantang agar
terlihat gagah, tanpa suara dia mampu berbicara dengan wibawa yang kental
sebagai seorang pemimpin. Lagi, tanpa suara, aku bisa mengenali mana diantara
mereka yang periang dan senang berbicara. Lagi, tanpa suara, aku bisa mengenali
mana diantara mereka yang cenderung pendiam. Lagi, tanpa suara, aku merasakan
gelak tawa mereka yang memenuhi ruangan selama perbincangan. Lagi, tanpa suara,
aku merasakan keramahan mereka menyambut kami tanpa basa-basi. Lagi, tanpa
suara, aku mendengar mereka bercerita dengan runut. Banyak lagi dan lagi
hal-hal lain yang terjadi tanpa mereka bersuara.
Tapi dibalik rasa takjub dengan bahasa isyarat, terselip
kekhawatiran yang dititipkan teman-teman Gerkatin. Ya, bahasa isyarat cenderung
dikesampingkan. Pemerintah lebih menekan sahabat tunarungu untuk berkomunikasi
secara oral. Ini bukanlah isapan jempol. Sebelumnya aku pernah berkunjung ke
SLB Santirama untuk mengamati proses belajar disana. Dan memang, mereka
didorong untuk melakukan komunikasi secara oral. Membaca gerak bibir saat
mendengarkan dan berusaha menggunakan lisan saat berbicara. Tentu ini bukanlah
hal yang mudah bagi sahabat tunarungu.
Menurut hasil bincang-bincang dengan salah satu guru yang
mengajar sahabat tunarungu, hal tersebut ditekankan justru untuk memudahkan
para sahabat tunarungu untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas karena tidak
semua orang mengerti dan mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Terlebih
setiap daerah memiliki bahasa isyarat yang berbeda-beda. Itu akan menyulitkan
sahabat tunarungu untuk berkomunikasi dengan masyarakat di daerah lain walau
dengan sesama tunarungu sekalipun.
Tapi di sisi lain, bahasa isyarat merupakan angin segar
untuk sahabat tunarungu sendiri. Banyak diantara mereka yang mengaku pendiam
sebelum memngenal bahasa isyarat. Namun setelah mengenal bahasa isyarat, mereka
menjadi lebih percaya diri untuk berbicara. Mereka menemukan media untuk
menyuarakan apa yang ingin mereka sampaikan. Disamping itu, bahasa isyarat
merupakan bagian dari kebudayaan. Hal itu terbukti dengan bahasa isyarat yang
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Sama hal nya dengan
bahasa daerah seperti bahasa sunda, bahasa jawa, bahasa padang, bahasa
pelembang, bahasa maluku dan masih banyak lagi. Namun perbedaan itu disatukan
dengan bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Begitu juga dengan bahasa isyarat,
untuk mempersatukannya ada Bahasa Isyarat Indonesia atau yang disingkat
BISINDO. Ada pula Alfabet Isyarat Indonesia yang lebih mudah bagi masyarakat
awam untuk berkomunikasi dengan tunarungu. Lantas, masih haruskah bahasa
isyarat dikesampingkan?
Terlepas dari permasalahan bahasa isyarat, pengalaman
berinteraksi dengan sahabat tunarungu semakin meyakinkanku bahwa tidak ada
perbedaan antara kita dan mereka. Berbicara tanpa suara bukanlah hambatan yang
membuat mereka terbatas. Kita dan mereka, sama. Aku yakin tidak hanya
tunarungu, apapun disailitas yang disandang sahabat lainnya, mereka pasti
memiliki keistimewaan yang akan membuatku jatuh hati. Dan aku menunggu
masa-masa itu.
semoga tulisan2 ini dibaca para ortu sehingga mereka lebih semangat dalam memperjuangkan buah hatinya... txs kawan atas tulisan2mu
ReplyDeleteTerimakasih mas canting :). Semoga saya terus semangat menulis ya, masih suka males soalnya. hehe
Deletezzzzz tulisan ini bikin gue bersyukur banget dapet kesempatan belajar bahasa isyarat di Solo. Bahasa ini unik...semoga masih bisa terus belajar di Jakarta -,-
ReplyDeleteTrima kasih atas karya tulisnya yg sarat akan pesan moral buat pembaca blog anda mba Devi. Langkah sederhana ini akan memberikan nuansa, menggugah hati serta pikiran kita untuk lebih banyak memahami dan mengerti pada lingkungan di sekitar kita berada. Ada tunarungu ada tuna netra, tunadaksa, tunagrahita dan yg paling parah lagi tuna ganda yaitu orang yg memiliki cacat tubuh dan mental sekaligus serta masih banyak lagi tuna-2 yg lain.
ReplyDeleteKira-2 apa yg bisa kita lakukan dan bermanfaat buat mereka Ya?
Harapan saya kita bisa melakukan sesuatu yg sangat bisa membantu mereka untuk menjadikan mereka manusia-2 mandiri secara mental, sosial dan finansial.