Suatu sore, alat komunikasi
berbentuk kontak milikku berbunyi singkat. Dengan warna merah yang berkedip
diujung kanan bagian atas, kuraih alat tersebut. Ternyata seorang teman lama
meng-invite-ku. Entah darimana ia peroleh kontakku, invitation itu pun
dilanjutkan dengan pertanyaan. Dia adalah kakak kelasku semasa SMU. Selain
cerdas secara akademik, aku mengenalnya sebagai sosok yang bijak, dewasa dan
pemikirannya yang sering membuatku tercekak. Dia kerap memiliki perspektif tersendiri
menanggapi hal dalam hidup.
Seperti biasa, percakapan dimulai
dengan hal yang standard (re: tanya kabar). Jawabannya pun tidak kalah standard
“baik, lo apa kabar?”. Dari kabar, percakapan berlanjut ke hal-hal berbau
kuliah. Ternyata dia sudah berhasil menamatkan kuliahnya di jurusan teknik
elektro dengan nilai memuaskan. Hal itu terbukti dengan masa menganggur yang
tidak pernah dia alami karena langsung dikontrak kerja selama lima tahun mendatang
di salah satu perusahaan ternama.
Iseng, aku pun menanyakan
pengalamannya menjadi seorang asisten dosen dulu. Dia menjawab berikut
pertanyaan balik apakah aku minat mengikuti jejaknya. Mulailah dia memberikan
wejangan-wejangan berdasarkan pengalamannya dulu. Satu hal yang menarik, dia
sempat menyatakan bahwa menjadi asisiten dosen memperlebar jalan memperoleh
beasiswa S2 baik dalam maupun luar negeri. “Kalo kerja lo bagus, lo bakal
dipromosiin untuk dapet beasiswa S2” jelasnya. Sontak aku antusias mendengarnya
walau aku tahu itu semua tergantung dosen dan kampus. Prasangka buruk sempat
menghantui pikiranku, tentang dia yang tidak melanjutkan S2. Apakah kerjanya
tidak bagus sehingga tidak memperoleh promosi untuk beasiswa S2. Daripada terus
berprasangka buruk, ku beranikan diri untuk bertanya. Dan jawabannya membuatku
lebih antusias dari sebelumnya.
Ternyata dia mendapat tawaran untuk
menlajutkan S2 ke prancis. Kalau saja iya mengiyakan, maka pihak kampus akan
membantu mengurus segala sesuatunya untuk berangkat. Sontak aku terperangah
mendengarnya. Itu mimpi banyak mahasiswa dan ia melepaskannya. Sayang beribu
sayang, dia terlanjur menandatangani kontrak kerja selama lima tahun mendatang.
Dengan melewati pertimbangan yang panjang ia memutuskan untuk tetap
mendedikasikan diri seperti apa yang tercantum dalam kontrak yang telah dihiasi
oleh tandatangannya itu. Entah alibi atau pembelaan diri atau bahkan usaha menghibur
diri, atau memang murni passion dalam hati, dia berkata “S2 itu pilihan, antara
melanjutkan belajar atau langsung terjun ke dunia kerja”. Menurutnya diantara
kedua pilihan tersebut akhirnya akan sama, yaitu mengabdikan diri sebagai
engineer di dunia kerja untuk kemajuan dan perubahan Indonesia.
Sejujurnya hati saya masih sedikit
tidak terima. Menurut saya lanjut S2 adalah pilihan yang terbaik karena dengan
begitu akan semakin banyak ilmu yang ia peroleh dan dapat diterapkan saat
mengabdi untuk Indonesia sepulangnya nanti. Tapi apapun alasan dia mengatakan
tersebut (alibi/pembelaan/menghibur diri/passion), saya sangat menghargai
keputusannya. Cara pandangnya justru membuat saya kagum tentang bagaimana dia
menanggapi kesempatan yang datang terlambat, menanggapi kesempatan yang
tertunda. Tergambar keikhlasan dan rasa bersyukur atas kontrak yang terlanjur
mengikatnya. Terbaca keteguhan hatinya atas ketidakmampuan menanggung
konsekuensi ataupun denda apabilan membatalkan kontrak.
Semangat kawan. Mengabdilah
sebaik-baiknya. Percaya bahwa apabila tuhan menghendaki kesempatan itu akan terbuka
kembali entah bagaimana caranya, biarlah tangan tuhan yang mengatur.
Pengalamanmu ini akan menjadi bekal bagiku apabila mimpi S2 ku pun tertunda. S2
adalah sebuah pilihan, saat kesempatan itu belum berada dalam genggaman ada
banyak pilihan yang dapat kita pilih dan lakukan. Sejatinya semua akan berakhir
satu, pengabdian untuk Indonesiaku.
No comments:
Post a Comment