9/4/12

S2 adalah sebuah pilihan


Suatu sore, alat komunikasi berbentuk kontak milikku berbunyi singkat. Dengan warna merah yang berkedip diujung kanan bagian atas, kuraih alat tersebut. Ternyata seorang teman lama meng-invite-ku. Entah darimana ia peroleh kontakku, invitation itu pun dilanjutkan dengan pertanyaan. Dia adalah kakak kelasku semasa SMU. Selain cerdas secara akademik, aku mengenalnya sebagai sosok yang bijak, dewasa dan pemikirannya yang sering membuatku tercekak. Dia kerap memiliki perspektif tersendiri menanggapi hal dalam hidup.


Seperti biasa, percakapan dimulai dengan hal yang standard (re: tanya kabar). Jawabannya pun tidak kalah standard “baik, lo apa kabar?”. Dari kabar, percakapan berlanjut ke hal-hal berbau kuliah. Ternyata dia sudah berhasil menamatkan kuliahnya di jurusan teknik elektro dengan nilai memuaskan. Hal itu terbukti dengan masa menganggur yang tidak pernah dia alami karena langsung dikontrak kerja selama lima tahun mendatang di salah satu perusahaan ternama.


Iseng, aku pun menanyakan pengalamannya menjadi seorang asisten dosen dulu. Dia menjawab berikut pertanyaan balik apakah aku minat mengikuti jejaknya. Mulailah dia memberikan wejangan-wejangan berdasarkan pengalamannya dulu. Satu hal yang menarik, dia sempat menyatakan bahwa menjadi asisiten dosen memperlebar jalan memperoleh beasiswa S2 baik dalam maupun luar negeri. “Kalo kerja lo bagus, lo bakal dipromosiin untuk dapet beasiswa S2” jelasnya. Sontak aku antusias mendengarnya walau aku tahu itu semua tergantung dosen dan kampus. Prasangka buruk sempat menghantui pikiranku, tentang dia yang tidak melanjutkan S2. Apakah kerjanya tidak bagus sehingga tidak memperoleh promosi untuk beasiswa S2. Daripada terus berprasangka buruk, ku beranikan diri untuk bertanya. Dan jawabannya membuatku lebih antusias dari sebelumnya.


Ternyata dia mendapat tawaran untuk menlajutkan S2 ke prancis. Kalau saja iya mengiyakan, maka pihak kampus akan membantu mengurus segala sesuatunya untuk berangkat. Sontak aku terperangah mendengarnya. Itu mimpi banyak mahasiswa dan ia melepaskannya. Sayang beribu sayang, dia terlanjur menandatangani kontrak kerja selama lima tahun mendatang. Dengan melewati pertimbangan yang panjang ia memutuskan untuk tetap mendedikasikan diri seperti apa yang tercantum dalam kontrak yang telah dihiasi oleh tandatangannya itu. Entah alibi atau pembelaan diri atau bahkan usaha menghibur diri, atau memang murni passion dalam hati, dia berkata “S2 itu pilihan, antara melanjutkan belajar atau langsung terjun ke dunia kerja”. Menurutnya diantara kedua pilihan tersebut akhirnya akan sama, yaitu mengabdikan diri sebagai engineer di dunia kerja untuk kemajuan dan perubahan Indonesia.


Sejujurnya hati saya masih sedikit tidak terima. Menurut saya lanjut S2 adalah pilihan yang terbaik karena dengan begitu akan semakin banyak ilmu yang ia peroleh dan dapat diterapkan saat mengabdi untuk Indonesia sepulangnya nanti. Tapi apapun alasan dia mengatakan tersebut (alibi/pembelaan/menghibur diri/passion), saya sangat menghargai keputusannya. Cara pandangnya justru membuat saya kagum tentang bagaimana dia menanggapi kesempatan yang datang terlambat, menanggapi kesempatan yang tertunda. Tergambar keikhlasan dan rasa bersyukur atas kontrak yang terlanjur mengikatnya. Terbaca keteguhan hatinya atas ketidakmampuan menanggung konsekuensi ataupun denda apabilan membatalkan kontrak.


Semangat kawan. Mengabdilah sebaik-baiknya. Percaya bahwa apabila tuhan menghendaki kesempatan itu akan terbuka kembali entah bagaimana caranya, biarlah tangan tuhan yang mengatur. Pengalamanmu ini akan menjadi bekal bagiku apabila mimpi S2 ku pun tertunda. S2 adalah sebuah pilihan, saat kesempatan itu belum berada dalam genggaman ada banyak pilihan yang dapat kita pilih dan lakukan. Sejatinya semua akan berakhir satu, pengabdian untuk Indonesiaku.

No comments:

Post a Comment