3/4/11

Usia Bukan Jaminan


              Usia masuk sekolah yang dibatasi memang berita yang sudah berlalu dan perlahan terlupakan oleh khalayak. Hal kecil dalam dunia pendidikan ini kerap dianggap sepele oleh masyarakat, padahal hal ini dapat berdampak panjang terhadap pendidikan si anak. Banyak dari kita tidak menyadari bahwa dampak dari kebijakan tersebut terus bergulir hingga saat ini. Orang-orang sibuk memperdebatkan masalah ini beberapa tahun lalu, namun kemanakah suara-suara itu sekarang? Berhentikah sampai disini? Disaat dampak negatif dari kebijakan ini benar-benar membuat kewalahan para guru dan siswa itu sendiri.
            Ketika otonomi daerah mulai diberlakukan sejak 2001 lalu, urusan pendidikan dasar menjadi urusan di bawah dinas pendidikan masing-masing daerah. Jakarta Selatan misalnya, memilih angka 6 sebagai batas minimum usia masuk sekolah dasar di daerahnya. Setiap tahun, puluhan bahkan ratusan anak batal masuk sekolah karena usia yang tidak memenuhi batas minimal. Tidak sedikit memang sekolah yang memberikan kelonggaran beberapa bulan dari batas minimal usia yang ditetapkan, namun banyak  juga yang tidak mentolerir barang satu hari pun.
Banyaknya anak yang batal masuk sekolah dasar juga banyak disebabkan oleh kerancuan antara batas minimum usia di taman kanak-kanak dengan batas minimum usia di sekolah dasar. Sebagai contoh, ada siswa yang sudah dua tahun belajar di taman kanak-kanak namun belum juga bisa melanjutkan ke sekolah dasar karena belum genap berusia enam tahun. Hal ini terjadi karena batas minimum usia di taman kanak-kanak tidak sesuai dengan batas minimum usia di sekolah dasar.
            Apakah sebenarnya yang menjadi landasan dari kebijakan tersebut? Secara psikologis, pada usia enam tahun anak dianggap sudah mampu melakukan sesuatu secara mandiri. Inilah yang kemudian mendasari diberlakukannya kebijakan tersebut. Padahal faktanya usia enam tahun tidak menjamin seorang anak siap memasuki dunia sekolah. Perkembangan mental anak tidak bisa disamaratakan berdasarkan perkembangan usia. Didikan orang tua mempunyai peranan penting dalam menunjang perkembangannya.
            Pada awalnya kebijakan ini bertujuan untuk memudahkan para guru maupun siswa dalam proses belajar mengajar di kelas. Para guru dianggap akan lebih mudah mendidik siswa-siswa yang secara mental sudah siap memasuki sekolah. Siswa-siswa yang sudah mampu untuk bertanggung jawab secara mandiri tanpa bergantung pada orang tua. Selain itu kebijakan ini juga bermaksud untuk memudahkan para siswa dalam menerima pelajaran. Dengan memasuki sekolah pada usia yang cukup siswa diharapkan mampu mengatasi masalah dan bobot pelajaran yang semakin meningkat sesuai dengan tingkatan kelas.
            Namun fakta yang terjadi di lapangan tidak seperti apa yang dicita-citakan. Kebijakan ini justru membuat para guru kewalahan. Menurut pengakuan salah satu guru yang saya wawancarai, berbagai kesulitan ia temui sejak diberlakukannya kebijakan tersebut. Kebanyakan siswa belum memahami arti sekolah itu sendiri. Tidak mau masuk kelas tanpa didampingi orang tua merupakan bukti yang paling nyata atas ketidaksiapan tersebut. Hal ini tidak lepas dari kelengahan para orang tua yang tidak peka terhadap kondisi anak. Kebanyakan dari mereka tidak menyadari ketidaksiapan anak meski usia mereka telah menginjak usia enam tahun.
            Sesungguhnya kesulitan tidak hanya ditemui oleh guru. Para siswa pun mengalami hal yang sama. Mereka kesulitan menerima pelajaran karena memang kondisi mereka yang belum siap untuk memasuki dunia sekolah. Ketidakmampuan mengatasi masalah di kelas seperti menjawab pertanyaaan guru, bergaul dengan teman atau hal-hal lain dapat menghilangkan kepercayaan diri siswa saat bersekolah dan membuat mereka merasa tidak bahagia untuk bersekolah. Dampak yang lebih parah jika seorang anak tidak siap adalah saat mereka harus mengulang. Ini bisa menjadi pengaruh yang sangat buruk pada perkembangan mentalnya dalam memandang masa depan.
            Dari serangkaian fakta-fakta yang terjadi di lapangan, sepertinya pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan tersebut. Apakah membatasi usia sekolah benar-benar diperlukan?. Kalaupun jawabannya iya, saya harap pemerintah memberikan batasan minimum usia tidak hanya di sekolah dasar tetapi di taman kanak-kanak juga demi mencegah terjadinya kerancuan yang telah digambarkan sebelumnya.
            Tetapi bagaimana pun juga, saya tetap termasuk orang yang tidak setuju dengan kebijakan ini. Menurut saya sungguh tidak bijak rasanya mengukur kesiapan anak bersekolah hanya dari batasan usia. Lebih tua bukan berarti lebih siap. Sebelum diberlakukannya kebijakan tersebut, tidak sedikit anak usia dibawah enam tahun mampu bersekolah, bahkan prestasinya melebihi anak yang usianya lebih tua. Haruskah kita menahan mereka untuk bersekolah hanya karena usia yang belum cukup, padahal kemampuan intelektual dan emosionalnya sudah mampu untuk bersekolah. Semantara kita menerima anak yang sudah cukup usia tapi kesiapan sekolahnya masih diragukan. Ironisme yang kerap saya lihat di dunia pendidikan dewasa ini.
            Para orang tua pun perlu melakukan introspeksi. Apakah sebenarnya anak mereka sudah siap memasuki dunia sekolah. Tentu saja para orang tua ini tidak bisa tinggal diam hanya menunggu sang anak siap bersekolah. Perlu dorongan pula dari para orang tua dengan memberikan pemahaman tentang sekolah sejak dini. Membiasakan anak untuk bersikap mandiri dan bertannggungjawab pada apa yang menjadi kewajibannya. Memasukan anak ke taman kanak-kanak sebelum memasuki sekolah dasar merupakan pilihan tepat menurut saya. Dari sanalah siswa akan belajar secara langsung dari pengalaman mereka tentang seperti apa itu sekolah, sehingga mereka tidak kaget begitu memasuki sekolah dasar.

No comments:

Post a Comment