Usia masuk sekolah yang dibatasi memang berita yang sudah berlalu dan perlahan terlupakan oleh khalayak. Hal kecil dalam dunia pendidikan ini kerap dianggap sepele oleh masyarakat, padahal hal ini dapat berdampak panjang terhadap pendidikan si anak. Banyak dari kita tidak menyadari bahwa dampak dari kebijakan tersebut terus bergulir hingga saat ini. Orang-orang sibuk memperdebatkan masalah ini beberapa tahun lalu, namun kemanakah suara-suara itu sekarang? Berhentikah sampai disini? Disaat dampak negatif dari kebijakan ini benar-benar membuat kewalahan para guru dan siswa itu sendiri.
Ketika otonomi daerah mulai
diberlakukan sejak 2001 lalu, urusan pendidikan dasar menjadi urusan di bawah
dinas pendidikan masing-masing daerah. Jakarta Selatan misalnya, memilih angka
6 sebagai batas minimum usia masuk sekolah dasar di daerahnya. Setiap tahun,
puluhan bahkan ratusan anak batal masuk sekolah karena usia yang tidak memenuhi
batas minimal. Tidak sedikit memang sekolah yang memberikan kelonggaran beberapa bulan dari batas minimal
usia yang ditetapkan, namun banyak juga
yang tidak mentolerir barang satu hari pun.
Banyaknya anak
yang batal masuk sekolah dasar juga banyak disebabkan oleh kerancuan antara
batas minimum usia di taman kanak-kanak dengan batas minimum usia di sekolah
dasar. Sebagai contoh, ada siswa yang sudah dua tahun belajar di taman
kanak-kanak namun belum juga bisa melanjutkan ke sekolah dasar karena belum
genap berusia enam tahun. Hal ini terjadi karena batas minimum usia di taman
kanak-kanak tidak sesuai dengan batas minimum usia di sekolah dasar.
Apakah sebenarnya yang menjadi
landasan dari kebijakan tersebut? Secara psikologis, pada usia enam tahun anak
dianggap sudah mampu melakukan sesuatu secara mandiri. Inilah yang kemudian
mendasari diberlakukannya kebijakan tersebut. Padahal faktanya usia enam tahun
tidak menjamin seorang anak siap memasuki dunia sekolah. Perkembangan mental
anak tidak bisa disamaratakan berdasarkan perkembangan usia. Didikan orang tua
mempunyai peranan penting dalam menunjang perkembangannya.
Pada awalnya kebijakan ini bertujuan
untuk memudahkan para guru maupun siswa dalam proses belajar mengajar di kelas.
Para guru dianggap akan lebih mudah mendidik siswa-siswa yang secara mental
sudah siap memasuki sekolah. Siswa-siswa yang sudah mampu untuk bertanggung
jawab secara mandiri tanpa bergantung pada orang tua. Selain itu kebijakan ini
juga bermaksud untuk memudahkan para siswa dalam menerima pelajaran. Dengan
memasuki sekolah pada usia yang cukup siswa diharapkan mampu mengatasi masalah
dan bobot pelajaran yang semakin meningkat sesuai dengan tingkatan kelas.
Namun fakta yang terjadi di lapangan
tidak seperti apa yang dicita-citakan. Kebijakan ini justru membuat para guru
kewalahan. Menurut pengakuan salah satu guru yang saya wawancarai, berbagai
kesulitan ia temui sejak diberlakukannya kebijakan tersebut. Kebanyakan siswa
belum memahami arti sekolah itu sendiri. Tidak mau masuk kelas tanpa didampingi
orang tua merupakan bukti yang paling nyata atas ketidaksiapan tersebut. Hal
ini tidak lepas dari kelengahan para orang tua yang tidak peka terhadap kondisi
anak. Kebanyakan dari mereka tidak menyadari ketidaksiapan anak meski usia
mereka telah menginjak usia enam tahun.
Sesungguhnya kesulitan tidak hanya
ditemui oleh guru. Para siswa pun mengalami hal yang sama. Mereka kesulitan
menerima pelajaran karena memang kondisi mereka yang belum siap untuk memasuki
dunia sekolah. Ketidakmampuan mengatasi masalah di kelas seperti menjawab
pertanyaaan guru, bergaul dengan teman atau hal-hal lain dapat menghilangkan
kepercayaan diri siswa saat bersekolah dan membuat mereka merasa tidak bahagia
untuk bersekolah. Dampak yang lebih parah jika seorang anak tidak siap adalah
saat mereka harus mengulang. Ini bisa menjadi pengaruh yang sangat buruk pada
perkembangan mentalnya dalam memandang masa depan.
Dari serangkaian fakta-fakta yang
terjadi di lapangan, sepertinya pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan
tersebut. Apakah membatasi usia sekolah benar-benar diperlukan?. Kalaupun
jawabannya iya, saya harap pemerintah memberikan batasan minimum usia tidak
hanya di sekolah dasar tetapi di taman kanak-kanak juga demi mencegah
terjadinya kerancuan yang telah digambarkan sebelumnya.
Tetapi bagaimana pun juga, saya
tetap termasuk orang yang tidak setuju dengan kebijakan ini. Menurut saya
sungguh tidak bijak rasanya mengukur kesiapan anak bersekolah hanya dari
batasan usia. Lebih tua bukan berarti lebih siap. Sebelum diberlakukannya
kebijakan tersebut, tidak sedikit anak usia dibawah enam tahun mampu
bersekolah, bahkan prestasinya melebihi anak yang usianya lebih tua. Haruskah
kita menahan mereka untuk bersekolah hanya karena usia yang belum cukup,
padahal kemampuan intelektual dan emosionalnya sudah mampu untuk bersekolah.
Semantara kita menerima anak yang sudah cukup usia tapi kesiapan sekolahnya
masih diragukan. Ironisme yang kerap saya lihat di dunia pendidikan dewasa ini.
Para
orang tua pun perlu melakukan introspeksi. Apakah sebenarnya anak mereka sudah
siap memasuki dunia sekolah. Tentu saja para orang tua ini tidak bisa tinggal
diam hanya menunggu sang anak siap bersekolah. Perlu dorongan pula dari para
orang tua dengan memberikan pemahaman tentang sekolah sejak dini. Membiasakan
anak untuk bersikap mandiri dan bertannggungjawab pada apa yang menjadi
kewajibannya. Memasukan anak ke taman kanak-kanak sebelum memasuki sekolah
dasar merupakan pilihan tepat menurut saya. Dari sanalah siswa akan belajar
secara langsung dari pengalaman mereka tentang seperti apa itu sekolah,
sehingga mereka tidak kaget begitu memasuki sekolah dasar.
No comments:
Post a Comment