Banyak orang bilang bahwa Idealisme akan memudar saat
seseorang dihadapkan pada realita hidup yang sebenarnya, hidup berkeluarga,
bertanggung jawab terhadap anak dan istri/suami, dan masalah lainnya. Itu pula
yang mendasari mengapa aku memilih room Youth
Volunteerism pada acara Future Leader
Summit 2012 yang diselenggarakan di UNDIP Semarang pada Kamis 12 Juli 2012
lalu. Selain Education, aku memiliki
ketertarikan yang besar di dunia volunteerism.
Menurutku keduanya adalah hal yang sangat berkaitan dan merupakan bagian dari
cita-cita hidupku. Aku ingin semua anak dapat memperoleh haknya yakni mengenyam
pendidikan. Aku ingin berkontribusi secara ikhlas, memberikan pendidikan bagi
mereka yang tidak mampu membayar biaya sekolah yang semakin melangit. Namun ada
kegalauan tersendiri yang aku rasakan dalam memandang masa depan kelak. Dibalik
idelaismeku untuk menjadi guru volunteer,
ada realita yang harus aku hadapi. Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahku
semakin menua, akulah calon tulang punggung keluarga kelak disaat ayah tak lagi
kuat mencari nafkah. Akulah yang bertanggung jawab atas pendidikan adik-adikku
nanti.
Pertentangan antara idealisme dan realita semacam itu
sepertinya bukan masalah bagi Mbak Silly, salah satu pembicara di room Youth Voluteerism. Bukan berarti tidak
mengalami benturan antara Idealisme dan Realita, tapi beliau berhasil
mengawinkannya. Ya, mengawinkan Idealisme dan Realita adalah solusinya. Diakhir
presentasinya, Mbak Silly meyakinkan kami “Tidak perlu khawatir dalam membantu
sesama, saya berani meninggalkan pekerjaan saya demi Blood for Life (gerakan
sosial yang diinisiasi Mbak Silly). Percayalah saat kita berusaha membantu
hidup orang lain, maka tuhan yang akan membantu hidup kita”. Mbak Silly juga
mengaku bahwa setelah meninggalkan pekerjaannya untuk Blood for Life, kehidupan
ekonominya justru semakin berkah. Pendapatan justru mengalir dari pundi-pundi uang
yang tak pernah ia duga sebelumnya. Mbak Silly bukanlah satu-satunya orang yang
mengaku demikian. Sebelumya telah aku jumpai beberapa aktivis sosial yang
mengalami hal yang sama. Fakta telah berbicara, membuktikan janji Allah yang
selama ini aku dengar dari pak ustadz. Bahwa Allah akan menolong kita di kala
kita menolong saudara kita, Allah akan utamakan orang-orang yang hidup berbagi
dengan saudaranya. Itulah cara yang dipilih Mbak Silly, memilih tuhan sebagai
penyeimbang, mengawinkan Idealisme dan Realita yang ia hadapi.
Lain halnya dengan Mbak Silly, pembicara kedua di room Volunteerism yaitu Mbak Tazkia memiliki
caranya sendiri untuk mengawinkan Idealismenya dengan Realita yang ia hadapi
kelak. Selaku mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kuliah kedokterannya,
menurutku apa yang dilakukan beliau untuk mengawinkan Idelaisme dan Realita
bersifat preventif. Idealismenya yang tinggi begitu terasa, termasuk dalam
mengawinkan Idealisme dengan Realita itu sendiri. Sejak awal beliau telah
mengikrarkan dirinya untuk menjadi dokter volunteer,
menyadari realita yang akan beliau hadapi kelak yakni kehidupan yang butuh
sokongan finansial, Mbak Tazkia sudah memikirkan apa yang dapat ia lakukan
kelak untuk memenuhi segala kebutuhannya. Beliau memilih untuk menunda Co Ass untuk
belajar ilmu bisnis di bidang fashion di salah satu sekolah fashion terkemuka
di Jakarta. Mbak Tazkia menceritakan bahwa Binis Fashion itulah yang kelak akan
menjadi mata pencahariannya sambil terus mengabdikan diri sebagai dokter volunteer.
Sebagai mahasiswa yang katanya masih penuh dengan Idealisme,
menurutku cara Mbak Tazkia memang yang paling realistis. Namun bukan berarti
aku meragukan cara yang ditempuh Mbak Silly, apalagi meragukan apa yang
dijanjikan Allah kepada orang yang berbagi dalam hidup. Lantas cara apa yang
aku pilih untuk mengawinkan Idealisme dan Realita dalam hidupku? Entah mengapa
aku percaya setiap orang memiliki Idealisme dan Realita hidup yang berbeda
termasuk cara mengawinkannya. Akan ku temukan caraku sendiri, karena aku punya
Allah dan kemampuan yang Dia anugerahkan untuk survive dalam hidupku. Amin
Sudah ada beberapa rencana yang menyembul dalam pikiranku
untuk mengawinkan Idealisme dengan Realita hidupku. Semoga Allah meridhoi.
Berbicara tentang benturan antara Idealisme dan Realita
tidak akan ada habisnya. Bahkan menurutku benturan itu tidak hanya muncul
selesai kuliah nanti, bahkan semasa kuliah pun benturan-benturan itu sudah
sering terjadi.
Sebagai mahasiswa aku tidak ingin berpangku tangan. Aku ikut
kegiatan ini dan itu, menjadi panitia disini dan disitu, dan saat kembali ke
kelas aku kembali dihadapkan dengan relalita perkuliahan, tugas yang menumpuk
dan lain sebagainya.
Saat weekend tiba, disaat beban kuliah terasa senggang, aku
mencoba untuk berkontribusi di beberapa kegiatan sosial, namun lagi aku
terbentur dengan realita kehidupanku di rumah. Menjadi anak sulung di tengah
keluarga tanpa PRT, tentu aku harus turut kontribusi dalam pekerjaan rumah.
Belum lagi ibuku yang telah menunggu-nunggu weekend untuk minta diantar olehku
kesana dan kemari. See? Selama kita masih hidup, benturan ini tak akan pernah
berakhir. Tinggalah bagaimana kita dapat mengawinkannya secara bijaksana.
Kita adalah yang paling mengenal diri kita sendiri, paling
tahu seberapa besar benturan yang terjadi, paling memahami perkawinan macam apa
yang kita butuhkan, paling mengerti pengorbanan apa yang dapat kita berikan untuk
menyeimbangkan keduanya. Setiap orang memilki pilihan dan caranya sendiri.
No comments:
Post a Comment