8/13/12

Mengawinkan Idealisme dengan Realita


Banyak orang bilang bahwa Idealisme akan memudar saat seseorang dihadapkan pada realita hidup yang sebenarnya, hidup berkeluarga, bertanggung jawab terhadap anak dan istri/suami, dan masalah lainnya. Itu pula yang mendasari mengapa aku memilih room Youth Volunteerism pada acara Future Leader Summit 2012 yang diselenggarakan di UNDIP Semarang pada Kamis 12 Juli 2012 lalu. Selain Education, aku memiliki ketertarikan yang besar di dunia volunteerism. Menurutku keduanya adalah hal yang sangat berkaitan dan merupakan bagian dari cita-cita hidupku. Aku ingin semua anak dapat memperoleh haknya yakni mengenyam pendidikan. Aku ingin berkontribusi secara ikhlas, memberikan pendidikan bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya sekolah yang semakin melangit. Namun ada kegalauan tersendiri yang aku rasakan dalam memandang masa depan kelak. Dibalik idelaismeku untuk menjadi guru volunteer, ada realita yang harus aku hadapi. Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahku semakin menua, akulah calon tulang punggung keluarga kelak disaat ayah tak lagi kuat mencari nafkah. Akulah yang bertanggung jawab atas pendidikan adik-adikku nanti.

Pertentangan antara idealisme dan realita semacam itu sepertinya bukan masalah bagi Mbak Silly, salah satu pembicara di room Youth Voluteerism. Bukan berarti tidak mengalami benturan antara Idealisme dan Realita, tapi beliau berhasil mengawinkannya. Ya, mengawinkan Idealisme dan Realita adalah solusinya. Diakhir presentasinya, Mbak Silly meyakinkan kami “Tidak perlu khawatir dalam membantu sesama, saya berani meninggalkan pekerjaan saya demi Blood for Life (gerakan sosial yang diinisiasi Mbak Silly). Percayalah saat kita berusaha membantu hidup orang lain, maka tuhan yang akan membantu hidup kita”. Mbak Silly juga mengaku bahwa setelah meninggalkan pekerjaannya untuk Blood for Life, kehidupan ekonominya justru semakin berkah. Pendapatan justru mengalir dari pundi-pundi uang yang tak pernah ia duga sebelumnya. Mbak Silly bukanlah satu-satunya orang yang mengaku demikian. Sebelumya telah aku jumpai beberapa aktivis sosial yang mengalami hal yang sama. Fakta telah berbicara, membuktikan janji Allah yang selama ini aku dengar dari pak ustadz. Bahwa Allah akan menolong kita di kala kita menolong saudara kita, Allah akan utamakan orang-orang yang hidup berbagi dengan saudaranya. Itulah cara yang dipilih Mbak Silly, memilih tuhan sebagai penyeimbang, mengawinkan Idealisme dan Realita yang ia hadapi.

Lain halnya dengan Mbak Silly, pembicara kedua di room Volunteerism yaitu Mbak Tazkia memiliki caranya sendiri untuk mengawinkan Idealismenya dengan Realita yang ia hadapi kelak. Selaku mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kuliah kedokterannya, menurutku apa yang dilakukan beliau untuk mengawinkan Idelaisme dan Realita bersifat preventif. Idealismenya yang tinggi begitu terasa, termasuk dalam mengawinkan Idealisme dengan Realita itu sendiri. Sejak awal beliau telah mengikrarkan dirinya untuk menjadi dokter volunteer, menyadari realita yang akan beliau hadapi kelak yakni kehidupan yang butuh sokongan finansial, Mbak Tazkia sudah memikirkan apa yang dapat ia lakukan kelak untuk memenuhi segala kebutuhannya. Beliau memilih untuk menunda Co Ass untuk belajar ilmu bisnis di bidang fashion di salah satu sekolah fashion terkemuka di Jakarta. Mbak Tazkia menceritakan bahwa Binis Fashion itulah yang kelak akan menjadi mata pencahariannya sambil terus mengabdikan diri sebagai dokter volunteer.

Sebagai mahasiswa yang katanya masih penuh dengan Idealisme, menurutku cara Mbak Tazkia memang yang paling realistis. Namun bukan berarti aku meragukan cara yang ditempuh Mbak Silly, apalagi meragukan apa yang dijanjikan Allah kepada orang yang berbagi dalam hidup. Lantas cara apa yang aku pilih untuk mengawinkan Idealisme dan Realita dalam hidupku? Entah mengapa aku percaya setiap orang memiliki Idealisme dan Realita hidup yang berbeda termasuk cara mengawinkannya. Akan ku temukan caraku sendiri, karena aku punya Allah dan kemampuan yang Dia anugerahkan untuk survive dalam hidupku. Amin

Sudah ada beberapa rencana yang menyembul dalam pikiranku untuk mengawinkan Idealisme dengan Realita hidupku. Semoga Allah meridhoi.

Berbicara tentang benturan antara Idealisme dan Realita tidak akan ada habisnya. Bahkan menurutku benturan itu tidak hanya muncul selesai kuliah nanti, bahkan semasa kuliah pun benturan-benturan itu sudah sering terjadi.

Sebagai mahasiswa aku tidak ingin berpangku tangan. Aku ikut kegiatan ini dan itu, menjadi panitia disini dan disitu, dan saat kembali ke kelas aku kembali dihadapkan dengan relalita perkuliahan, tugas yang menumpuk dan lain sebagainya.

Saat weekend tiba, disaat beban kuliah terasa senggang, aku mencoba untuk berkontribusi di beberapa kegiatan sosial, namun lagi aku terbentur dengan realita kehidupanku di rumah. Menjadi anak sulung di tengah keluarga tanpa PRT, tentu aku harus turut kontribusi dalam pekerjaan rumah. Belum lagi ibuku yang telah menunggu-nunggu weekend untuk minta diantar olehku kesana dan kemari. See? Selama kita masih hidup, benturan ini tak akan pernah berakhir. Tinggalah bagaimana kita dapat mengawinkannya secara bijaksana. 

Kita adalah yang paling mengenal diri kita sendiri, paling tahu seberapa besar benturan yang terjadi, paling memahami perkawinan macam apa yang kita butuhkan, paling mengerti pengorbanan apa yang dapat kita berikan untuk menyeimbangkan keduanya. Setiap orang memilki pilihan dan caranya sendiri.

No comments:

Post a Comment